Merenungkan Kembali Makna Pulang

Sebuah Resensi dari Novel Pulang karya Toha Mohtar



Judul                : Pulang
Penulis             : Toha Mohtar
Penerbit           : Pustaka Jaya
Cetakan           : Pertama, 1957
Tebal               : 104 halaman
ISBN                : 979-419-131-0




Menurut anda, apa makna sebuah kepulangan?

Setidaknya ada tiga buah novel karya penulis Indonesia yang memiliki judul “Pulang”; salah satunya—dan yang tertua—adalah karya Toha Mohtar (1926-1992). Novel tipis ini berkisah tentang kepulangan sosok Tamin sebagai  seorang heiho pada masa pendudukan Jepang. Sebagaimana heiho dari daerah lain, Tamin dikirim ke Burma (sekarang Myanmar) untuk turut perang melawan sekutu selama 7 tahun. Beruntung, dalam waktu selama itu Tamin selamat,[1] Tamin pulang ke kampungnya di lereng Gunung Wilis-Kediri.
Pulang. Apakah yang dapat lebih menggelorakan hati daripada mengalami pertemuan dengan keluarga kembali? (hal.7)
Kepulangan seorang anak lanang, tentu saja memberikan makna yang sangat berarti bagi keluarga Tamin: ayah, ibu juga adiknya Sumi, satu-satunya yang tercinta di bumi ini. Anak lanang, bila ditengok dari teropong sistem perkawinan masyakarat Jawa yang menganut sistem patrilineal, memiliki makna luas yang bukan sekadar sebagai penyambung garis keturunan atau tulang punggung masa depan, namun adalah yang paling berhak untuk mengurus permasalah kehidupan rumah tangga keluarga, sawah, serta aset berharga keluarga. Anak lanang bisa diibaratkan sebagai sebuah doa dan harapan keluarga. Itulah mengapa kepulangan Tamin terasa begitu berarti bagi keluarganya. Ayahnya, lewat pesan yang pernah disampaikannya kepada Tamin kecil, paling berharap akan kepulangannya.
“Tanah ini adalah tanah yang terbaik di seluruh desa, lantaran dibatasi oleh kali yang tak pernah kering sepanjang musim. Cintailah ini seperti nenekmu mengajari aku. Gantungkan pengharapan hidupmu di sini dan bila datang masanya engkau memegang sendiri, jangan engkau lepaskan kelak meski sejengkal. Engkau harus tahu, bahwa janji hidup dari keturunanmu terletak dalam tanah ini pula, seperti juga ia telah menghidupi nenek moyang kita. Ini adalah pusaka!”
Tapi apa yang terjadi ketika Tamin tiba di kampung halaman?
            Toha Mohtar menggambarkan bahwa kepulangan Tamin setelah tujuh tahun tak cukup banyak yang berubah terkait panorama alam desanya. Ia mengetahui dengan pasti seluruh batas-batas sawah itu, seperti ia mengenal batas-batas bentuk tubuh sendiri, lanataran di mana ia berdiri petang itu adalah pojok sawahnya  (hal.31). Hal-hal yang mengalami perubahan, oleh penulis justru dibangkitkan sebagai pemantik kejutan cerita dan penggolak gejolak batin Tamin; kematian para sahabatnya Gamik dan Pardan ketika melawan Agresi Militer Belanda II[2], juga terjualnya tanah sawah miik untuk berobat ayahnya[3] melawan maut.
            Pada mulanya, saya mengira bahwa klimaks novel ini akan berpuncak pada konflik agraria perebutan kembali tanah sawah milik ayah Tamin yang bakal berlangsung alot. Namun, ternyata bukan, dan di situlah saya mengetahui kecerdikan penulis ini. Tanah sawah itu bisa dibeli kembali dengan secara kekeluargaan yang saling rela. Memang pada proses pengumpulan uang untuk membeli kembali tanah sawah ayahnya, ada sebuah konflik batin yang komplikated. Harga tanah yang senilai dua ekor sapi dewasa, terbatasnya jumlah uang Tamin dan keinginan untuk membahagiakan Sumi dengan membelikan cita sutra di pasar kota. Maka dengan sangat terpaksa,  demi kembalinya “tanah!” Tamin harus rela menjual kalung bermata berkilau, yang berarti mengingkari janji kepada bapak mertuanya di seberang sana untuk tidak menjual pusaka tersebut. Pada bagian ini, ada konflik yang sangat subtil: situasi yang dilematis, antara merebut kembali tanah warisan leluhur atau mengingkari janji cinta Tamin sendiri. Namun, sebagaimana gaya-gaya novel pada eranya, yang menampilkan konflik sekaligus penyelesainannya, Toha Mohtar memaparkan secara gambling konflik dilema yang dialami Tamin ini.
“Benda ini memiliki sejarah dan separo hatiku telah terpaut kepadanya. Ia kubawa melampaui maut, darah dan perkelahian. Dengan tambahan ini, sawah kita hendak kutebus, sebab bukankah ke sana pula kita dapat menemui jiwa kita?... Tetapi aku telah belajar untuk menaruhkan tanah di atas segala!” (hal.39).
Tamin akhirnya bisa merebut kembali tanah leluhurnya, mengolahnya dengan sepenuh jiwa dan dengan tenaga yang dimiliki oleh tubuhnya yang tegap besar dan tangguh, dan mempertahankannya dengan memegang erat sebagai sebuah pusaka.


Sikap Tamin yang berpendirian teguh, penuh cinta terhadap tanah airnya, kampung juga keluarganya, tentu saja tak bisa dilepaskan dari proses penanaman cinta tanah air, kampung serta keluarga yang ditanamkan secara turun temurun dari nenek lalu ayahnya, lalu Tamin. Dalam hal ini, keluarga sebagai sebuah lembaga sosial terkecil dan pertama yang dilalui seorang individu (Tamin) memberikan peran penting dalam menanamkan norma dan nilai untuk kehidupan bermasyarakat. 
Konflik novel ini justru sangat sederhana dari yang saya bayangkan. Bermula dari pertemuannya dengan orang-orang desa untuk memperbaiki makam dua karibnya, Gamik dan Pardan menjadi Taman Pahlawan di desa tersebut. Tamin yang kenyataanya, setelah menjadi heiho di Burma kemudian dialih-fungsikan oleh pihak Belanda sebagai antek untuk memberesi orang-orang yang menurut Belanda penjahat perang. Penjahat perang yang dimaksudkan adalah orang pribumi yang merebut senjata Jepang untuk melakukan gerilya terhadap Belanda pada Agresi Militer II, termasuk dua karibnya. Keberadaan Tamin sesungguhnya merupakan sebuah ironi: ia yang sangat cinta tanah air dan kampungnya, namun diperalat Belanda sehingga merasa takut dituduh seolah pengkhinat bangsa sendiri oleh orang-orang desa, sementara dua karibnya gugur sebagai bunga bangsa, ditambah citra dan sikap masyarakat desanya yang sangat anti kolonial, situasi ini menjadikan konflik besar bagi Tamin, yang terpaksa membuatnya berbohong bahwa ia telah berjuang di Tasik, di kaki Gunung Putri dan Gunung Cupu-Tanah Pasundan. Kebohongan yang menuntun kebohangan baru membuat Tamin yang hatinya bersih tak bisa jenak dan dihantui rasa takut, tekanan batin, malu, merasa bersalah, terasing dan kecamuk batin yang tak terkatakan. Sehingga Tamin sering mengurung diri, bahkan pada ujungnya ia pergi menjauh selama dua hari dua malam dengan getek bersama seseorang hingga ke Sepanjang (sebuah kota di pinggir Surabaya yang disebutkan sebagai pangkalan atau dermaga getek) melalui jalur Sungai Brantas. Tamin tinggal di kota selama empat bulan, yang meski menjalani hidupnya tanpa hati karena hati dan jiwanya telah tertanam pada petak sawah di desa, bahkan tak ingin pulang karena perasaan malu, takut tersebut. Ia tidak akan pernah pulang jika saja pada suatu hari ia tidak bertemu dengan Pak Banji (ayah Gamik) yang hendak menghadap ke Gubernur dan berkabar bahwa ayah Tamin telah berpulang ke Tuhan.
            Lantaran berita lelayu itulah, dan juga harapan besar keluarganya yang tersisa juga kerinduan orang-roang kampung kepadanya, Tamin mau pulang. Tamin mau pulang, tentu saja, karena sebetulnya jiwanya telah tertanam pada hijau padi dan aroma lumpur sawah. Betapapun ia pergi jauh hingga ke Burma, ia akan pulang juga ke tanah airnya.
Ada banyak pesan yang bisa dipetik dari novel Pulang ini. Pesan ideologis cinta tanah air yang sangat kuat terasa sejak kalimat pertamanya, rasanya tidaklah seperti menginjakkan kaki atas tanah sendiri, yang telah bertahun-tahun ditinggalkan. (hal.1). Sebuah pesan yang mengingatkan pembaca pada pepatah, hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, baik jua di negeri sendiri.
Sebab tanah adalah tanah. Ia satu-satunya yang punya janji sumber hidup sepanjang zaman. (hal. 25)

Dengan penuturan yang halus, gaya bahasa serta pilihan diksi yang sederhana, Toha Mohtar mengajak pembacanya menyelami relung-relung batin tokoh hingga panorama alam kampung lereng Gunung Wilis yang disajikan dengan filmis. Dengan kelebihan itulah, tak ayal jika novel ini mengantarkan Toha Mohtar—penulis kelahiran Kediri inimemenangi Hadiah Sastra Nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada tahun 1958. Dalam risetnya untuk menulis Pulang, Toha Mohtar bertualang ke lereng Gunung Wilis untuk tidak sekadar memotret relief alamnya saja namun juga kultur sosial politik masyarakat lereng Gunung Wilis yang kemudian disajikan dalam novel ini.
Sebagai sebuah upaya memperingati Hari Sumpah Pemuda, memilih novel Pulang Toha Mohtar sebagai sebuah bacaan untuk menyambut Hari Sumpah Pemuda merupakan pilihan yang tepat (utamanya untuk kaula muda), karena dalam novel ini tertanam banyak pesan dan semangat cinta tanah air, nasionalisme, patriotisme, dan berideologi yang kuat sebagai pondasi dasar sebuah bangsa yang kuat, serta karakter utama novel ini: Tamin yang muda dan penuh semangat dan memasyarakat, tidak jemawa (sebab bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali [4]). Ketika melakukan pembacaan novel ini, saya juga menemukan adanya semangat nasionalisme yang dibangun dari unsur bahasa. Toha Mohtar yang lahir di Jawa Timur, seolah tak bisa melepaskan begitu saja bahasa ibunya (Bahasa Jawa) dalam menuliskan novel ini. Mari kita buka kembali halaman 32, di mana kita akan menemukan ungkapan “wajahnya hitam merah”. Ungkapan ini khas sekali dengan ungkapan orang Jawa: raine abang-ireng, sebagai sebuah simbolisasi sekaligus penegasan akan wajah seorang yang baru saja bekerja keras. Namun ungkapan ini tidak serta merta ditulis oleh Toha Mohtar dalam Bahasa Jawa (dalam raine abang-ireng), bukan, melainkan ditransformasikan ke bentuk Bahasa Indonesia. Yang tentu saja memperluas khazanah Bahasa Indonesia.
  Begitu saya mendapat kabar tentang info lomba resensi ini saya langsung tertarik. Maka, salah satu tujuan saya menulis ulasan atau resensi novel Pulang ini selain untuk memperkaya wawasan baca saya, adalah untuk turut serta berpartisipasi dalam sayembara penulisan resensi sebagai salah satu program yang diusung oleh Tim #LaNyallaJatim1 jelang pemilihan Gubernur Jawa Timur pada pilkada mendatang.
Jujur, sebagai kaula muda yang suka menulis dan membaca, saya kagum dan salut pada Bapak La Nyalla. Sebab baru pertama kali ini saya menemukan seorang calon pemimpin mengadakan event literasi, yang sebenarnya dunia yang sangat asing dan sunyi. Setelah menengok profil beliau, barulah saya tahu bahwa beliau memang sosok yang sangat layak memimpin Jawa Timur ke depan karena kecintaannya kepada negara, ilmu pengetahuan, sejarah, seni, dan utamanya budaya serta sastra Indonesia. Oleh karena itu, saya berdoa semoga beliau sukses dan amanah. Amin.

Salam sumpah pemuda Indonesia!
Tumpah darah satu, Tanah Air Indonesia! 
Bangsa yang satu, bangsa Indonesia!
Berbahasa satu, Bahasa Indonesia!
Jawa Timur Maju bersama La Nyalla!

#SumpahPemuda #LaNyallaJatim1 !
***
Tuban, 2017

Catatan :

[1] Dalam salah satu artikelnya, historia menyebutkan bahwa perang Jepang vs Sekutu (Inggris) di Burma hanya berlangsung selama enam minggu. Jepang terpaksa mengalami kekalahan besar dan memalukan, karena dari ± 1000 pasukan yang dikirim hanya lima puluh orang yang selamat, bahkan 20 orang itu tertangkap. Selain musuh di medan perang ancaman bagi heiho dan tentara Jepang adalah buaya air asin yang ganas di Burma.
[2] Tidak disebutkan secara tekstual bahwa gerilya yang dilakukan Gamik dan Pardan terjadi pada Agresi Militer Belanda II, namun ditilik dari narasi ketika Pak Banji hendak menghadap Gubernur dan sosok yang memberikan sambutan dan amanat ketika peresmian Taman Pahlawan, kedekatan dengan sosok gubernur mengingatkan akan gubernur yang sempat ditangkap Belanda pada gerilya di lereng Gunung Wilis (Gubernur Dr.Moerdjani dan wakilnya, Dul Arnowo). Mengingat Gunung Wilis pada masa itu digunakan sebagai daerah untuk melanjutkan pemerintahan. (Sumber: Sejarah Daerah Jawa Timur, oleh Direktorat Jenderal Kebudaaan tahun 1978).
[3] Entah atas dasar apa, Toha Mohtar lebih memilih menggunakan kata "Ayah" daripada kata "Bapak" yang lebih akrab dan khas untuk penduduk desa. Dalam novel ini, penyebutan "ayah" dengan kata "bapak" hanya terdapat dua kali saja: dalam sebuah dialog dan satu lagi dalam sebuah narasi.
[4]  Mengingat kembali tulisan Tan Malaka dalam Madilog.

Comments