Bumi Kuntilanak
Oleh : Umar Affiq
Judul : Bumi
Kuntilanak
Penulis : Denny
Herdy dan Sandza
Tebal : 130
halaman
Penerbit : UNSA
Press
Cetakan : Agustus
2014
ISBN :
978-602-71176-0-0
“Ketika kita mengembangkan cerita, kita seperti melakukan siasat
dengan pembaca. Misalkan ketika kita bercerita ke arah kiri, dan pembaca sudah
menduga, ‘ah, cerita paling akan dibawa ke arah sini.’ Pada saat itulah kita
harus membelokkan cerita itu. agar ada suspend, ada kejutan, ada sesuatu yang
tidak diduga pembaca.”
Demikianlah alur
cerita yang baik menurut Agus Noor, pada dokumentasi Pusat Bahasa tentang
apresiasi cerpen.
Dan apa yang
dikatakan Agus Noor itu ternyata memiliki kecocokan dalam Kumpulan cerita Bumi
Kuntilanak ini. Simak saja cerita berjudul “Pelet Marongge” karya Denny Herdy.
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang perempuan gabuk buruk rupa bernama Neng
Euis yang buruk rupa. Ia percaya bahwa jodoh akan datang tepat pada waktunya
dan tanpa tergesa-gesa. Ia begitu sabar menanti pasangan hidupnya mendatanginya
dengan seperangkat pinangan. Tapi ibunya berbeda pemikiran, ibunya memaksanya
untuk segera mengakhiri masa sendiri putrinya karena usia telah cukup tua untuk
ukuran perawan. Demi segera mendapat jodoh, Neng Eulis disuruh untuk memantek
ilmu Pelet Marongge sampai akhirnya Neng Eulis berhasil menikah dengan Kang
Asep.
Dari awal cerita,
Denny mengarahkan pandangan pembaca bahwa akhirnya Neng Eulis memang menikah
dengan Kang Asep. Jika saja Denny megakhiri ceritanya hanya sampai tahap ini,
maka ceritanya dapat dianggap gagal, karena apa yang ingin dia ceritakan telah
terbaca oleh pembaca. Tapi, rupanya Denny tahu celah itu, sehingga ia memutar
kendali sepenuhnya, bahwa Pelet Marongge yang digunakan Neng Eulis untuk
memikat hati Kang Asep tidak mempan sejak awal.
Lantas mengapa Kang Asep mau menikah dengan Neng Eulis yang
terkenal buruk rupa dan tua?
Pada akhir cerita, Denny memberikan kejutan. Ternyatanya, karena
sakit hati Kang Asep pada Neng Kokom (mantan kekasih Kang Asep) membuat Kang
Asep bernazar untuk menikahi perempuan paling jelek.
“… Kang Asep dendam pada Neng Kokom bahwa ia lebih memilih pria
yang kaya daripada memilih dirinya. Ia berpikir bahwa barangkali dengan
mencintai perempuan paling jelek, cintanya tidak akan dikhianati.”
***
Cerita lain juga memiliki kejutan-kejutan yang berbeda, yang
meletup-letup. Cerpen berjudul “Bumi” karya Sandza, misalnya. Cerpen ini
mengisahkan tentang sepasang suami istri yang tinggal dalam rumah tangga
sederhana yang sangat mendambakan akan datangnya seorang momongan. Berbagai
macam usaha telah mereka tempuh. Tapi, hadirnya penyakit kista yang bernaung di
perut tokoh istri rupanya menjadi masalah besar. Segala usaha mereka gagal.
Lalu kenjutan apa yang ditampilkan cerpen ini?
Pertama, dari segi penyajian, cerpen ini berbeda dengan
cerpen-cerpen lainnya. Dalam menampilkan kisah dari waktu yang berbeda, Sandza
menampilkan cerpen ini dengan menggunakan tanggal, bukan kata-kata sebagaimana
umumnya cerpen. Hal ini tentu memiliki keunggulan dalam hal detail.
Selanjutnya, melalui dialog-dialog tokoh cerita, Sandza mengisahkan
seolah-olah sepasang suami-istri itu masih tetap bersama, hidup dalam satu atap
yang sama. Namun, letupan muncul begitu saja ketika kehadiran tokoh dokter yang
pada akhir cerita memaksa tokoh istri untuk tetap tinggal di rumah sakit jiwa!
Selain kejutan dan letupan, cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen
Bumi Kuntilanak ini mengekspose berbagai sudut kehidupan. Cerpen dalam kumpulan
cerita ini secamam otokritik yang sangat halus namun mengena. Sehingga, buku
ini tidak hanya bisa dinikmati oleh pecinta sastra saja, tapi bisa dibaca oleh
berbagai kalangan supaya pembaca tahu bahwa kehidupan manusia saat ini telah
lebih kejam dari kuntilanak sendiri.
***
Tuban, April 2015
(bahwa kehidupan manusia saat ini telah lebih kejam dari kuntilanak sendiri).
ReplyDeleteBaru paham kenapa judulnya Bumi Kuntilanak.
Terima kasih reviewnya, jadi semakin pengen baca *dan sampai sekarang belum nemu bukunya...