Dari Datuk Ke Sakura Emas
Oleh: Umar Affiq
Judul : Dari
Datuk Ke Sakura Emas
Penulis : A. Fuadi,
dkk.
Tebal : 168
halaman
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Cetakan : April 2011
ISBN :
978-979-22-6982-6
Pramoedya Ananta Toer pernah bilang, “Barang siapa mempunyai
sumbangan pada kemanusian dia tetap terhormat sepanjang jaman, bukan kehormatan
sementara. Mungkin orang itu tidak mendapatkan sesuatu sukses dalam hidupnya,
mungkin dia tidak mempunyai sahabat, mungkin tak mempunyai kekuasaan barang
secuwil pun. Namun umat manusia akan menghormati karena jasa-jasanya.”
Barangkali demikianlah apa yang dilakukan oleh A. Fuadi, dkk saat membuat bunga rampai cerpen ini. Kumpulan cerpen ini lahir ketika Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (disingkat PDS) mengalami defisit anggaran. Kemudian tercetuslah ide untuk membuat kumpulan cerpen ini yang mana seluruh royaltinya disumbangkan untuk PDS.
Terlepas dari semua itu, naskah dalam buku ini menarik. Ada empat belas naskah dari empat belas penulis dengan latar belakang yang berbeda, dengan tema dan gaya bercerita yang berbeda-beda pula. Dari perbedaan itulah terbentuk cita rasa yang lezat dalam buku ini. Ada yang mengangkat lokalitas, urban, mitos, dan tema lainnya.
Sebut saja M. Aan Mansyur dengan cerpen berjudul Di Tempatmu Berbaring Sekarang. Cerpen ini mengangkat kisah cinta segitiga yang menjala dua hati lelaki (Pilang dan Tumbra) dan satu perempuan (Kukila) dalam naungan adat. Kisah cinta mereka disaksikan dan direkam sepenuhnya oleh sebuah pohon angker untuk kemudian disampaikan kepada tokoh yang di kemudian hari terlentang di bawah pohon itu. Menariknya, kisah cinta itu bukanlah kisah cinta yang wajar. Pilang, seorang pemuda yang biasa saja telah menganyam kisah cinta dengan Kukila sejak remaja. Pilang berjanji tak akan mau menikah dengan gadis selain Kukila.
Barangkali demikianlah apa yang dilakukan oleh A. Fuadi, dkk saat membuat bunga rampai cerpen ini. Kumpulan cerpen ini lahir ketika Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (disingkat PDS) mengalami defisit anggaran. Kemudian tercetuslah ide untuk membuat kumpulan cerpen ini yang mana seluruh royaltinya disumbangkan untuk PDS.
Terlepas dari semua itu, naskah dalam buku ini menarik. Ada empat belas naskah dari empat belas penulis dengan latar belakang yang berbeda, dengan tema dan gaya bercerita yang berbeda-beda pula. Dari perbedaan itulah terbentuk cita rasa yang lezat dalam buku ini. Ada yang mengangkat lokalitas, urban, mitos, dan tema lainnya.
Sebut saja M. Aan Mansyur dengan cerpen berjudul Di Tempatmu Berbaring Sekarang. Cerpen ini mengangkat kisah cinta segitiga yang menjala dua hati lelaki (Pilang dan Tumbra) dan satu perempuan (Kukila) dalam naungan adat. Kisah cinta mereka disaksikan dan direkam sepenuhnya oleh sebuah pohon angker untuk kemudian disampaikan kepada tokoh yang di kemudian hari terlentang di bawah pohon itu. Menariknya, kisah cinta itu bukanlah kisah cinta yang wajar. Pilang, seorang pemuda yang biasa saja telah menganyam kisah cinta dengan Kukila sejak remaja. Pilang berjanji tak akan mau menikah dengan gadis selain Kukila.
Di lain sisi, Tumbra anak kepala adat tidak suka hubungan mereka berdua lantaran Tumbra sendiri mencintai Pilang, cinta sesama jenis yang disimpan diam-diam. Sebab, jika sampai masyarakat tahu bahwa Tumbra menyukai sesama jenis, berdasarkan hukum adat yang berlaku dia kan dihukum dengan cara ditenggelamkan ke dasar sumur.
Maka, demi melihat Pilang tidak menjadi milik orang lain selain dirinya, Tumbra menikahi Kukila. Dan tentu saja, nasib anak kepala adat lebih mujur. Sayangnya, pernikahan Tumbra dan Kukila amat absurd. Sebagai sepasang suami-istri, mereka tidak pernah bersama. Rumah tangga mereka lebih beku dari Antartika. Sedangkan, nasib Pilang yang ditinggalkan sangat mengharukan. Pilang bersetia setiap malam duduk di bawah pohon angker itu, sambil menikmati rokoknya menghadap ke arah barat, ke rumah panggung Tumbra-Kukila demi menyaksikan Kukila duduk di beranda rumah.
M. Aan Mansyur membuat cerita ini tak hanya sampai disitu. Setelah Kukila dan Pilang saling pandang dalam remang-remang, Kukila kemudian kembali ke kamar dan Pilang pun pulang. Tumbra yang masih bertahan dengan perasaan cintanya, setiap Kukila selesai bertukar pandang dengan Pilang, dia menggantikan posisi Kukila. Dia memandangi pohon angker sambil membayangkan bahwa di bawah pohon itu seorang Pilang tengah duduk memandangnya.
Di akhir kisah, cerpen ini terasa begitu menohok. Ketiga tokohnya (Pilang, Kukila dan Tumbra) akhirnya datang ke pohon angker. Semula Kukila kaget dan khawatir kalau-kalau Tumbra akan menghukumnya karena menemui lelaki lain diam-diam. Namun nyatanya tidak. Disana, mereka justru mengungkapkan perasaan masing-masing dan mereka berjanji setelah itu mereka akan gantung diri di ranting pohon angker.
Cerpen-cerpen lain dalam buku ini juga menarik sebab ditulis oleh penulis-penulis terkemuka, antara lain ada A. Fuadi, Alberthine Endah, Andrei Aksana, Asma Nadia, Avianti Armand, Clara Ng, Dewi “Dee” Lestari, Dewi Ria Utari, Happy Salma, Icha Rahmanti, Indra Herlambang, Putu Fajar Arcana dan Sitta Karina. Selain itu, naskah dalam kumpulan cerpen ini menyoroti berbagai sudut kehidupan yang ada di negeri ini.
Demikianlah, buku ini diracik oleh chef-chef cerpen terkemuka yang berjuang untuk menyelamatkan peradaban baca Indonesia. Mari turut serta menyelamatkan dunia baca tulis Indonesia. Mari membaca!
***
Tuban,
27 Maret 2015
Comments
Post a Comment