Jalan Sunyi Seorang Pejuang
Oleh: Umar Affiq
Judul : K.H. M. Kholil Bangkalan:
Biografi Singkat
1820-1923
Penulis : Muhammad Rifai
Penerbit : Garasi, Jogjakarta
Cetakan : III,
2013
Tebal : 148 hal
ISBN : 978-979-25-4635-4
Sosok kiai seringkali diidentikkan dengan sosok berpeci yang
kharismatik dimana kesehariannya hanyalah berdakwah dan mengkaji kitab-kitab
keagamaan khususnya Islam. Tentu saja ini merupakan pandangan umum tentang
keseharian sosok kyai, bukan telaah lebih dalam tentang kyai tertentu yang
memiliki cara-cara khas untuk menyebarkan agama maupun mendidik bibit-bibit
bangsa.
K.H. Muhammad Kholil Bangkalan merupakan sosok kyai yang tak asing
di dunia pesantren, meski barangkali
sosok yang lebih akrab dengan sebutan Mbah Kholil Bangkalan tidak
terlalu terkenal bagi khalayak umum. Mbah Kholil Bangkalan lahir pada Selasa,
11 Jumadil Akhir 1252 Hijriyah, bertepatan dengan tahun 1835 M di Bangkalan
Madura. Lahir di tengah dunia pesantren milik ayahnya, K.H. Abdul Latif, Mbah
Kholil Bangkalan memiliki pertalian darah dengan Fatahillah, Sunan Gunung Jati
Cirebon. Selain itu, Mbah Kholil Bangkalan juga memiliki silsilah ke-29 dari
Nabi Muhammad Saw (hal. 16).
Meski lahir di tengah dunia pesantren, Mbah Kholil tidak sertamerta
diajar sendiri oleh Abahnya, Kyai Abdul Latif. Sejak kecil beliau memang
diajar ilmu agama oleh Abahnya sendiri, namun ketika mulai remaja Kyai Kholil telah dipondokkan di
Pesantren Bunga yang diasuh oleh Kyai Sholeh di Gresik. Sejak dalam didikan
orangtuanya sendiri Mbah Kholil Bangkalan telah menampakkan bakat dan
keseriusannya dalam bidang ilmu fiqih dan nahwu-shorof (tata Bahasa Arab). Hal
ini dibuktikan dengan cepatnya menghafal nadhom Alfiah Ibnu Malik yang
berjumlah 1000 bait.Pada 1859, Kholil muda berangkat ke Makkah guna memperdalam
ilmu keagamaannya. Dari sinilah Mbah Kholil Bangkalan mendapat ijazah dan
berhak menjadi mursyid untuk menyebarkan thariqah Qadariyah wan
Naqsabandiyyah dari Syaikh Ahmad Ibnu Khatib Sambas Ibnu Abdul Ghoffar di Jabl
Qubais. Sepulang dari Makkah,penulis menyebutkan bahwa Kiai Kholil baru menikah
dengan Nyai Asyik sepulang dari Makkah dan ada sumber lain dari penulis yang
mengatakan pernikahan itu terjadi sebelum Kiai Kholil ke Makkah.
Tidak seperti ulama pada zamannya yang berjuang melawan penjajah
dengan senjata maupun dengan cara adu pendapat, Kiai Kholil memiliki cara
tersendiri. Ia memiliki pandangan bahwa perjuangan dengan senjata sangat rawan
gagal mengingat penjajah saat itu—Belanda—memiliki persenjataan yang jauh lebih
canggih. Perjuangan dengan diploma juga dianggap tidak aman karena akal licik
penjajah. Hal ini disandarkannya pada kasus perundingan yang diikuti oleh
Pangeran Diponegoro yang akhirnya diculik dan diasingkan. Sebagai seorang kyai
yang memiliki tanggung jawab mengasuh pesantren, Kiai Kholil tidak mau secara
langsung terjun ke dunia pejuang seperti yang dilakukan muridnya, K.H. Hasyim
Asy’ari, pendiri NU. Ternyata jalan perjuangan yang ditempuh Kiai Kholil justru
membuat penjajah kapok. Bagaimana tidak, penjajah sangat terheran dan kewalahan
menghadapi sikapnya yang nyeleneh, unik.
Diriwayatkan Kiai Kholil ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda
karena telah menyembunyikan pejuang dari Jawa yang bersembunyi di kompleks
Pesantren Demangan, pesantren asuhan Kiai Kholil. Ketika Belanda mencium berita
itu, maka seluruh kompleks pesantren digrebek meski mereka tak mendapati
seorang pejuang pun di pesantren itu. Oleh karena penggrebekan tak membuahkan
hasil, akhirnya Belanda menangkap sang kyai dan memenjarakannya. Tapi hal ini
justru membuat repot penjaga penjara Belanda. Dikatakan oleh penulis bahwa
setiap harinya puluhan bahkan ratusan orang membesuk Kiai Kholil saat di
penjara. Menanggapi kejadian aneh ini, Belanda merasa kewalahan untuk mengatasi
pembesuk yang tak henti-hentinya berkunjung. Akhirnya, pihak Belanda memutuskan
Kiai Kholil dibebaskan.
Bagian yang menarik dari buku ini adalah pemaparan tentang beberapa
karamah Kiai Kholil yang sangat nyumrambah—dikenal banyak orang dari
berbagai kalangan dan latar belakang. Sebagai salah satu karamahnya adalah
tentang kisah seorang Tionghoa yang dikenal dengan panggilan Koh Bun Fat,
datang kepada Kiai Kholil.
“Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya. Saya sudah bosan hidup
miskin terus,” kata Koh Bun Fat.
Kiai Kholil meminta Koh Bun Fat mendekat. Begitu sudah dekat, Kiai
Kholil meraih kepala Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat, lalu berkata,
“Saatu lisanatun. Howang-hawing, howang-hawing. Pak uwang huwang
nuwang. Tur kecetur salang kecetur. Sugih…, sugih…, sugih!”
Tak ada yang mengerti arti yang dikatakan Kiai Kholil. Namun, di
balik kata-kata yang tak seorang pun mengetahui maknanya itu, hidup Koh Bun Fat
benar-benar berubah. Ia menjadi pengusaha Tionghoa yang kaya raya.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa Kiai Kholil merupakan
sosok yang suka menolong siapa saja tanpa memandang latar belakang. Siapa yang
membutuhkan, itulah yang berhak untuk mendapatkan pertolongan. []
Tuban, April 2015
Comments
Post a Comment