Realita Fiksi Dunia Santri
Oleh: Umar Affiq
Judul : Kumpulan
Cerpen Santri Kajen
Penulis : Niam At-Majha, dkk.
Tebal : 164 halaman
Penerbit : Perpustakaan Mutamakkin
Cetakan : I, Oktober 2014
ISBN : 978-602-18084-3-6
Dunia
santri—menurut teropong saya—selalu memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri.
Mulai dari sistem pembelajaran, sistem nilai dan norma, dan hal-hal lainnya.
Dari kedua hal inilah saya tertarik menuliskan review buku Kumpulan Cerpen
Santri Kajen yang ditulis oleh beberapa orang santri.
Dalam dunia
literasi, kumpulan cerpen santri seperti ini bukanlah hal yang baru. Di
beberapa pesantren yang sudah semi modern telah memasukkan kegiatan menulis
sampai penerbitan buku sastra sebagai kegiatan salah satu ekstra para santri
yang juga merupakan implementasi ilmu sastra (balaghah). Sebut saja
pesantren Sunan Drajat-Lamongan, An-Nuqayyah-Madura, Rodhotut Tholibin yang
diasuh oleh Gus Mus, Pesantren Mathali’ Kajen dan beberapa pesantren lainnya
yang tak bisa saya sebutkan satu persatu.
Namun, jika
ditarik sebuah garis antara karya santri dari pesantren A dengan pesantren B,
misalnya, memiliki satu ciri khas yang hampir sama. Unggah-ungguh kepada Kiai, keanehan-keanehan yang tak dapat
dipecahkan logiika, pengajaran dengan sistem kuno dan kaku, bahkan sampai
menyentuh ke sisi gelap dunia pesantren dan santri sekalipun. Hal ini merupakan sebuah realita yang ada
di dunia santri atau pesantren.
Petuah Fatihah
yang ditulis oleh Sahal Jepara dalam Kumpulan Cerpen Santri Kajen, misalnya. Melalui sudut pandang orang pertama,
Sahal menceritakan dengan alur yang rapi peristiwa demi peristiwa yang dilalui
oleh tokoh aku dalam belajar membaca Al-Quran. Dimana aku (liris) memulai
belajar mengaji pada surat Al-Fatihah. Konflik dibangun dengan begitu sederhana
namun sangat mengena.
Kebanyakan orang, menganggap membaca Fatihah adalah hal yang mudah,
sehingga dapat dipastikan akan cepat pindah dari Fatihah menuju Al-Baqarah.
Pandangan yang salah itu diangkat oleh Sahal. Ia ingin mengatakan, bahwa
Fatihah tidaklah semudah yang dinyana banyak orang. Aku (liris), pada awal-awal
mengaji dengan jemawa merasa bahwa setelah ia membaca Fatihah, maka esoknya
akan pindah ke surat berikutnya. Namun apa yang terjadi? Esok hari ketika si
tokoh utama langsung membaca surat berikutnya, sang Kiai tiba-tiba saja
menggedor meja. Hal ini bukan sekali-dua kali oleh tokoh utama, bahkan sampai
empat puluh hari pertama ia mengaji masih berada di Surat Fatihah.
Pada malam menjelang hari keempat puluh satu, aku liris mendapati
dirinya bertemu dengan sang Kiai yang dengan Bahasa Jawa memberikan sebuah
kunci padanya.
“Ini saya titipi kunci. Tolong dirawat baik-baik untuk kehidupan
nanti. Siapa bersungguh-sungguh ia akan mendapatkan apa yang diinginkan. Siapa
yang yakin, ia akan mendapatkan kemuliaan. Siapa yang mau merawat akan dapat
syafaat.”
Disini, nampaklah sebuah keanehan-keanehan yang dianggap wajar dan
hampir ada pada setiap karya khas pesantren. Sosok kiai yang merupakan figur
panutan, memiliki sebuah kelebihan-kelebihan tertentu (karomah). Tak
hanya pada Petuah Fatihah, hal yang demikian ini juga terdapat pada beberapa
cerita pendek lainnya seperti Santri Kalijaga dan Manusia Berjubah
Malaikat. Sayangnya, pada beberapa cerita pendek lainnya, dalam Kumpulan
Cerpen Santri Kajen ini dibangun dengan teknik dan gaya penulisan yang
monoton. Kisah kegagalan cinta yang harusnya dapat dikisahkan dengan baik,
dibuat terlalu mendayu-dayu.
Kumpulan Cerpen Santri Kajen, meski
masih ada beberapa kekurangan di dalamnya, saya rasa buku ini masih sangat
layak baca. Selain menambah khazanah kesusastraan Indonesia dan pesantren, Kumpulan
Cerpen Santri Kajen merupakan wujud semangat baru dunia menulis di
pesantren, khususnya Pondok Pesantren Kajen, Pati Jawa Tengah. []
Tuban, April 2015
Comments
Post a Comment