Eksistensi Berkarya
Oleh: Umar Affiq
Judul : Menanti
Lelaki dari Surga
Penulis : Eko Hartono
Penerbit : UNSA Press
Cetakan : Pertama, Februari 2015
Tebal : 116 halaman
ISBN : 978-602-711-764-8
Saya masih sangat
ingat betul ketika masih kuncup kecil dalam menulis, seorang teman—satu komunitas
menulis di KOSTRA Tuban—setelah membedah karya saya, dia menawarkan pilihan
yang dituturkan dengan nada menampar.
“Kau sudah satu
tahun bergabung di komunitas ini. Jika dalam dua tahun tak ada satu pun tulisanmu
yang ditayangkan media, sebaiknya kau segera berhenti bermimpi menjadi seorang
penulis.” kata senior saya waktu itu.
Dari pengalaman
itu, saya memetik poin tentang eksistensi sebuah karya pada media yang mana
dengan karya tersebut seseorang akan diakui keberadaannya. Hal ini mengingatkan
kembali pada kata-kata Pramodya: menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Maka tentu saja buku Menanti Lelaki dari Surga karya Eko Hartono ini
merupakan usahanya untuk keabadian sekaligus perwujudan eksistensinya dalam
dunia literasi yang telah melangkah di usia 20 tahun.
Keluar dari zona
di atas, Menanti Lelaki dari Surga berisikan tentang dua belas judul cerpen
dengan aroma religi. Cerpen Detik-Detik Kematian misalnya. Mengisahkan tentang
mantan pegawai SPG yang kemudian menikah dengan lelaki dambaannya. Meski hidup
dalam himpitan kemiskinan, mereka dapat bertahan untuk beberapa tahun. Seiring
berjalannya waktu dan bertambahnya anggota keluarga, yaitu lahirnya buah hati,
kebutuhan hidup mereka kian bertambah. Sampai akhirnya mereka benar-benar
terdesak dan si suami menawarkan pekerjaan hitam kepada istrinya demi mencukupi
kebutuhan hidup. Si istri di antar ke hotel bersemalam dengan laki-laki
beruang.
Cerita-cerita
dalam buku kumpulan cerpen ini lebih dominan mengisahkan tentang kehidupan
rumah tangga. Eko Hartono beberapa kali mencoba mengambil sudut pandang orang
pertama sebagai seorang perempuan, baik sebagai istri maupun yang lain. Dalam
kasus ini, saya rasa Eko Hartono masih mengalami keterbatasan dalam mengeksplorasi
diri sebagai tokoh perempuan dalam ceritanya. Hal ini terbukti dengan caranya
menampilkan tokoh perempuan yang serasa hanya sampai pada permukaan saja. Coba
kita bandingkan dengan cerita dalam Satu Hari yang Ingin Kuingat karya
Yetti A.KA. tentu saja Yetti terasa lebih mengena mengeksplorasi tokoh perempuannya;
tentang perasaan perempuan yang begitu sentimental dan benda-benda yang
memberikan sentuhan kenangan pada jiwa perempuan.
Sebagai sebuah jalan untuk menutupi keterbatasannya itu, Eko Hartono
memilih menyelipkan kritik-kritik sosial dalam kisahnya yang mungkin itu
memanglah tujuan cerita-ceritanya dibangun. Cerita yang paling saya suka dari
kumpulan cerita ini adalah Permen dan Lukisan. Barangkali karena pada cerpen
ini memiliki intensitas imajinasi lebih tinggi dibanding cerpen-cerpen lain.
Cerpen ini mengisahkan tentang sebuah keluarga miskin yang
kesehariannya adalah mengumpulkan airmata untuk dijadikan permen dan serpihan
hati yang berserak untuk diubah menjadi mozaik. Permen dan lukisan itu kemudian
dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hebatnya, permen dari airmata itu
dapat menghapus segala kesedihan dan kesusahan bagi yang memakannya. Lagi-lagi,
cerpen ini rupanya diarahkan pada kritik politik. Seorang tokoh politik memesan
sedemikian banyak permen dan lukisan untuk dibagikan cuma-cuma kepada orang
kecil, tujuannya agar mereka lupa akan kesengsaraan hidup yang disebabkan oleh ulah
politikus.
Setelah membaca keseluruhan buku ini, saya berkesimpulan bahwa
kumpulan cerpen ini merupakan cerpen-cerpen kritik sosial yang dibacem dengan
kisah cinta dan religiusitas. Dan hal yang cukup mengagumkan adalah pada
halaman terakhir dipaparkan bahwa penulis kumcer ini telah mendapatkan berbagai
penghargaan, namun cukup disayangkan karena teknik penceritaannya yang terasa kurang
komunikatif dengan pembaca.
***
Tuban, April 2015
Comments
Post a Comment