Review Buku MATA (Jurnal Cerpen Indonesia Edisi 12)



Sudut Pandang Mata Ketiga



Judul               : MATA (Jurnal Cerpen Indonesia Edisi 12)
Penulis             : Olyrinson,dkk.
Penerbit           : AKAR Indonesia
Tebal               : 136 halaman
Cetakan           : Pertama, 2012
ISSN               : 1978-3175

Dalam Jurnal Cerpen Indonesia Edisi 12 ini, ada tujuh cerita pendek dan tiga esai. Diantara beberapa cerpen itu, salah satu cerpen yang paling menarik perhatian saya adalah cerpen berjudul Gajah Mati karya Olyrinson. Saya memang menyukai hewan bertubuh besar itu, namun, ketertarikan saya terhadap cerpen ini bukan lantaran hal tersebut. Cerpen ini tragis. Saya bilang tragis karena seperti menguliti sisi luka kehidupan orang Sumatera yang di satu sisi berjuang untuk melestarikan kehidupan satwa dan di sisi lain kehidupan manusia pinggiran terkucilkan.
Dikisahkan dalam cerpen itu bahwa seorang anak sedang sibuk mencari pinjaman kendaraan untuk membawa bapaknya berobat ke puskesmas. Namun, jangankan memberikan pinjaman, orang-orang dekat (tetangga) bocah itu justru mengabaikannya demi memperhatikan seekor gajah yang sakit. Bocah itu mencoba meminjam ke Haji Mansyur yang notabenya orang ningrat di kampung itu, tapi diabaikan karena mobil Haji Mansyur turun mesin. Lalu haji itu menyuruh si bocah meminjam di Puskesmas Pembantu, namun tak ada. Ia lalu pergi ke balai desa yang jaraknya satu kilo dengan berlari. Namun, sekali lagi, harapannya kosong karena adanya seekor gajah yang mati.
Dalam cerpen ini Olirynson mengungkapkan betapa kejamnya pengucilan terhadap kaum kecil, sehingga bahkan nyawa seekor gajah jauh lebih mahal dari nyawa manusia. Hal semacam ini kemudian menimbulkan kecemburuan orang kecil terhadap hewan langka itu.
“Hewan yang dulu sahabat, sekarag jadi musuh. Sesungguhnya kami tidak membenci gajah. Dari zaman nenek moyang kami, kami bersahabat dengan gajah. Kami tidak pernah saling ganggu yang kami benci adalah pengusaha pemilik lahan. Mereka yang merusak habitat hewan-hewan jinak itu. tempat itnggal gajah-gajah itu dibakar, hurannya mereka tebang sehingga gajah tidak punya tempat tinggal lagi.”
Olyrinson mengkritik dengan blak-blakan terhadap pembukaan lahan sawit yang merusak habitan gajah dan mengabaikan kehidupan penduduk di sekeliling perkebunan sawit. Memang, mayoritas perusahaan menyerap alam namun mereka tak punya imbal balik baik pada alam sendiri dan juga penduduk di sekitar perusahaan. Dan dalam cerpen ini, penulis juga mengkritisi tindakan beberapa tokoh masyarakat yang masih suka mencari muka ketika orang-orang besar datang ke pelosok. Dan karena hal itu, si bocah kecil terabaikan karena para petinggi desa sedang sibuk mengurusi gajah mati, yang pada saat itu karena orang Dinas Kehutanan turun lapangan. Toh, kalaupun tak ada orang dinas, belum tentu mereka sepeduli itu.
Saya miris membaca cerpen ini. ada perasaat tersayat di dada saya; antara belas kasih terhadap keadaan si bocah, keadaan si gajah dan kebencian pada pejabat kampung itu. Saya mengira, Olyrinson sendiri menulis cerpen ini dengan mengumpat penuh benci terhadap tokoh-tokoh dalam ceritanya (para pejabat kampung). Coba kit abaca penggalannya berikut;
“’Kalian dengar! Ayahku hampir mati. Aku butuh dokter dan mobil untuk membawanya ke rumah sakit. Tapi kalian sibuk dengan seekor binatang yang mati… apa nilai seekor gajah mati lebih berharga dari nyawa manusia…?!’
Aku berputar dan menggenggam sebuah baru lahi. Aku melempar sebuah mobil lahi dengan setengah gila.” (halaman 18).
Tragis. Benar-benar tragis. Begitu juga pada cerpen Olyrinson yang berjudul Dari Jendela yang Terbuka. Cerpen ini mengisahkan tentang keluarga miskin yang hidup dengan mengumpulkan potongan logam dari pabrik. Namun sayang, sang ibu yang menjadi tulang punggung keluarga itu tertangkap polisi karena pekerjaannya itu. sedang si anak pertama duduk menanti ibunya pulang bersama adiknya yang sakit dan akhirnya mati karena minum air sumur yang kotor, berlumpur seperti susu kental. Tragis!
Cerpen-cerpen lain dalam jurnal ini menarik. Seperti Pemburu Babi dan Hujan Panas dan Hantu Jaring-Jaring dengan lokalitasnya. Ada juga cerpen Langit Bandar Padang dengan nuansa sejarahnya, Malam Tak Terpetakan dengan aroma epos Ramayana dan Air dan Seorang Perempuan dengan aroma kisah klasik Adam-Hawa dan Iblis.
***
Dan untuk esai dalam jurnal ini saya tak dapat memberikan komentar. Esai dalam jurnal ini ada esai Cerita dan Hantu Pengarang karya Zulkarnaen Ishak yang mengupas tentang beberapa cerpen Gunawan Maryanto. Memandang dengan Mata Ketiga karya Tia Setiadi mengupas tentang dunia realisme magis dalam dunia seni dan sastra, mulai dari proses lahirnya dan imbasnya yang dalam esai ini dikatakan;
“Para pengarang realisme magis berikhtian membabar pelbagai tumpukan dimensi kehidupan, yang tampak atau tak, yang terlihat atau tak, yang rasional atau fantastic. Alhasil sejarah pun, dalam karya-karya realisme magis, tak lagi tunduk pada ruang dan waktu linear.” (Halaman 103).
Ada juga esai Pascakolonial, Teks dan Gerakan Sastra (Kondisi dan Respon Sastra Indonesia Mutahir) karya Nenden Lilis A. yang mengupas tentang perkembangan kesusastraan Indonesia pada satu dasawarsa terkahir.
***
Tuban, 20 Agustus 2015

Comments

Post a Comment