Review Kumcer Kukila



Kukila, Sekumpulan Cerita dari Seorang Penyair



Judul               : Kukila
Penulis             : M. Aan Mansyur
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Kedua, November 2012
Tebal               : 192 halaman
ISBN               : 978-979-22-8839-1
Suatu hari, di pikiran saya tiba-tiba saja terlintas sebuah pertanyaan demikian: karya mana yang lebih enak dinikmati, cerpennya penyair atau syairnya cerpenis? Pertanyaan itu rasanya akan menjadi pisau bermata ganda bila kita membaca kumpulan cerita dalam Kukila.
Aan Mansyur yang lebih mashur sebagai penyair, rupa-rupanya memiliki sekumpulan cerita yang tak kalah nikmatnya dengan puisi-puisinya. Dalam Kukila ini, Aan menulis cerita dengan gayanya dalam menulis puisi; dengan diksi sederhana, mudah dipahami dan liris. Cerita pertama dalam kumpulan cerita ini berjudul Kukila, Rahasia Pohon Rahasia, mengisahkan tentang cinta segitiga tak temu, yaitu antara Kukila dan Pilang yang saling mencintai dan Rusdi, Suami Kukila yang justru malah mencintai Pilang secara sembunyi-sembunyi. Uniknya dari cerita ini, ada cerita berbingkai; cerita dalam cerita yang hampir sama, yaitu cerita karangan Pilang tentang Pohon Rahasia yang mirip kisah hidup Kukila sendiri. Namun, cerita karangan Pilang ini tentu saja berbeda. cerita ini ternyata juga terbit di kumpulan cerita lain di Dari Datuk Hingga Sakura Emas (GPU, 2011) dengan judul Di Tempatmu Berbaring Sekarang. Cerita singkatnya adalah sebegai berikut.
Terceritalah kisah cinta segitiga yang menjala dua hati lelaki (Pilang dan Tumbra) dan satu perempuan (Kukila) dalam naungan adat. Kisah cinta mereka disaksikan dan direkam sepenuhnya oleh sebuah pohon angker untuk kemudian disampaikan kepada tokoh yang di kemudian hari terlentang di bawah pohon itu. Menariknya, kisah cinta itu bukanlah kisah cinta yang wajar. Pilang, seorang pemuda yang biasa saja telah menganyam kisah cinta dengan Kukila sejak remaja. Pilang berjanji tak akan mau menikah dengan gadis selain Kukila.
Di lain sisi, Tumbra anak kepala adat tidak suka hubungan mereka berdua lantaran Tumbra sendiri mencintai Pilang, cinta sesama jenis yang disimpan diam-diam. Sebab, jika sampai masyarakat tahu bahwa Tumbra menyukai sesama jenis, berdasarkan hukum adat yang berlaku dia kan dihukum dengan cara ditenggelamkan ke dasar sumur.
Maka, demi melihat Pilang tidak menjadi milik orang lain selain dirinya, Tumbra menikahi Kukila. Dan tentu saja, nasib anak kepala adat lebih mujur. Sayangnya, pernikahan Tumbra dan Kukila amat absurd. Sebagai sepasang suami-istri, mereka tidak pernah bersama. Rumah tangga mereka lebih beku dari Antartika. Sedangkan, nasib Pilang yang ditinggalkan sangat mengharukan. Pilang bersetia setiap malam duduk di bawah pohon angker itu, sambil menikmati rokoknya menghadap ke arah barat, ke rumah panggung Tumbra-Kukila demi menyaksikan Kukila duduk di beranda rumah.
M. Aan Mansyur membuat cerita ini tak hanya sampai disitu. Setelah Kukila dan Pilang saling pandang dalam remang-remang, Kukila kemudian kembali ke kamar dan Pilang pun pulang. Tumbra yang masih bertahan dengan perasaan cintanya, setiap Kukila selesai bertukar pandang dengan Pilang, dia menggantikan posisi Kukila. Dia memandangi pohon angker sambil membayangkan bahwa di bawah pohon itu seorang Pilang tengah duduk memandangnya.
            Di akhir kisah, cerpen ini terasa begitu menohok. Ketiga tokohnya (Pilang, Kukila dan Tumbra) akhirnya datang ke pohon angker. Semula Kukila kaget dan khawatir kalau-kalau Tumbra akan menghukumnya karena menemui lelaki lain diam-diam. Namun nyatanya tidak. Disana, mereka justru mengungkapkan perasaan masing-masing dan mereka berjanji setelah itu mereka akan gantung diri di ranting pohon angker.
***
Dalam cerpen Kukila ini, Aan bermain tanda-tanda. Nama Kukila sendiri adalah sebuah nomina yang berarti burung pipit dan Pilang yang berarti pohon besar. Dan cerita terbangun sebagaimana hubungan antara burung dan pohon yang seharusnya saling melengkapi hidup. Dan kemunculan Rusdi, seolah memotong pohon itu, pohon mangga di depan rumah Kukila yang ia benci.
Cerita lain yang menarik dalam kumpulan cerpen ini berjudul “Celana Dalam Rahasia Terbuat dari Besi”. Berkisah tentang kehidupan sepasang Suami Istri yang saling berselingkuh secara diam-diam. Si Suami yang bekerja di sebuah redaksi media cetak (majalah) dengan bangga mempromosikan teori temuannya untuk menghindari perselingkuhan yaitu dengan membuat celana dari besi untuk Istrinya. Celana itu memang terbuat dari besi dan tergembok pada satu sisinya, sehingga ia menjamin Istrinya tak bisa selingkuh. Si Suami mendapat sambutan luar biasa karena temuannya itu. ia bangga bukan main. Selain Istrinya aman dari perselingkuhan, dengan dalih penemuannya itu, seolah ia membikin alibi bahwa ia takkan mungkin melakukan perselingkuhan. Nyatanya, apa yang dibayangkan si Suami bertolak belakang dengan kenyataan. Pada penutup cerita, aan memaparkan hal yang masuk akal sekaligus menikung. Si Istri, nyatanya masih bisa selingkuh. Dengan siapa? Jawabannya adalah, tukang duplikat kunci!
Setengah Lusin Ciuman Pertama mengisahkan kehidupan si tokoh utama yang demikian bangga dengan beberapa ciuman yang pernah didapatkannya. Cerita satu ini lebih tersaji lebih teenlit dari cerita lainnya, namun tetap asik dibaca karena disajikan untuk membuat perut geli. Meski pada beberapa sub-cerita dalam Setengah Lusin Ciuman Pertama tersaji sebagai cerita jenaka, nyatanya, Aan membelokkan dengan tajam pada akhir ceritanya. Tentang ciuman seorang bapak yang masih dikenang si tokoh utama dan bapak itu talah tiada.
Pada kumpulan cerita ini, saya menarik benang merah, selain kata-kata sederhana yang ia gunakan dalam ceritanya, Aan seperti menayangkan tema seragam dalam corak berbeda. tema itu tak lain adalah perselingkuhan, mantan dan cinta segitiga seperti apa yang terjadi pada Kukila, Pilang dan Tumbra.
Selain, sub-cerita Pohon Rahasia yang terbukukan dalam antologi cerpen Dari Datuk Hingga Sakura Emas (GPU, 2011), ada juga cerpen Membunuh Mini yang juga tergabung dalam antologi cerita lain, yakni Dunia dalam Mata (Meta Kata, ).
Tentang pertanyaan saya: karya mana yang lebih enak dinikmati, cerpennya penyair atau syairnya cerpenis? Saya rasa pembaca lain pernah bertanya-tanya hal yang sama dengan saya. Dan saya telah menemukan jawabannya pada Kukila.
***
Tuban, 17 Agustus 2015

Comments