Bagaimana Hadji Murat Mati dan Dikenang
Judul : Hadji
Murat
Penulis : Leo
Tolstoy
Penerjemah : Hartono
Hadikusumo
Penerbit : Narasi
Tebal : x+242
halaman
Cetakan : Pertama,
2015
ISBN : 979-168-446-4
Bererapa negara di
belahan dunia, tampaknya sepakat dalam mengibaratkan pahlawan sebagai bunga
bangsa. Ya, bunga. Entah bunga yang berduri atau yang tak berduri.
Demikianlah, Leo Tolstoy menggambarkan sosok Hadji Murat.
Dalam novel
terakhirnya ini, Tolstoy yang dikenal sebagai penulis yang anti kekerasan
mengangkat tema yang berbeda dengan ideologi hidupnya. Tolstoy mengawali novel
ini dengan memposisikan diri sebagai narator yang menemukan bunga Tatar, sebuah
bunga yang lahir dan tumbuh dalam semak Tatar. Bunga Tatar, bunga merah darah
yang liat, yang mengingatkan aku (prosa) pada sosok Hadji Murat.
“Tapi sungguh
hebat tenaganya dan kekuatan hidupnya,” aku berpikir, mengingat kesulitan yang
aku alami ketika memetiknya. “Betapa kerasnya ia bertahan, dan betapa mahalnya
ia menghargai hidupnya.” (Halaman 5).
Hadji Murat adalah
seorang pejuang rakyat yang paling di takuti Rusia pada zamannya karena
kecerdikannya dalam stategi dan kepiawaiannya dalam bela diri. Ia pernah
menjabat sebagai gebernur dan dicintai rakyatnya. Namun, menjadi gubernur di
bawah kepemimpinan Shamil, membuat kedudukannya hancur dan hidupnya sendiri
terancam. Ibu, istri dan anaknya tertawan dan ia melarikan diri dari desa ke
desa tempat dimana ia pernah berkuasa. Hukum alam membalas budi. Ia mantan
gubernur yang mencintai rakyatnya dan pada situasi sempit itulah, rakyat yang
mencintainya menyembunyikannya dari perburuan Shamil. Pokok perkaranya
sederhana, Shamil tersinggung dan merasa kekuasaannya terancam oleh kata-kata
Hadji Murat.
“…aku ditanyai
siapa yang pantas menjadi imam setelah Shamil. Aku katakan bahwa imam
haruslah orang yang memiliki pedang yang tajam.” (Halaman 118).
Shamil, tanpa
keberadaan Hadji Murat sebenarnya ibarat pohon tanpa daun. Karena, satu-satunya
yang membuat takut Rusia terhadap kerajaan Shamil adalah Hadji Murat yang
setelah pelariannya itu, ia menyerahkan diri kepada Vorontsov. Petualangan
Hadji Murat dari punggawa ke punggawa Rusia sebenarnya bertentangan dengan
kepribadian Hadji Murat sendiri. Namun, semua itu ia lakukan demi dapat
menghimpun kekuatan untuk menyerang Shamil dan menyelamatkan keluarganya yang
ditawan. Memang benar, semua adalah fair dalam perang dan cinta. Dan
memang benar pula, musuh dari musuhku adalah kawanku. Itulah mengapa
Hadji Murat mengorbankan kehormatannya demi perang melawan Shamil, musuh dari
Rusia. Dan logis bila Hadji Murat menyeberang ke pihak Tsar Rusia (meski ia
masih membencinya), karena Tsar Rusia adalah musuh dari musuhnya, Shamil.
Dalam menuliskan
novel ini, meski mengangkat tema yang berlawanan arus dengan ideologinya,
Tolstoy tak serta merta meninggalkan ideologi itu sepenuhnya. Ada banyak
penggambaran cinta dalam berbagai bentuk. Kecintaan hamba kepada Tuhannya dapat
tercermin dalam ketaatan Hadji Murat menjalankan shalat di tengah kemelut
hidupnya dan di tengah-tengah penganut Kristen Ortodoks. Sedang cinta sesama
mahluk tercermin pada beberapa bab. Namun yang paling kentara adalah pada bab akhir
novel ini, yang mengisahkan tentang tragedi kematian Hadji Murat. Melalui tokoh
Maria Dmitriyevna, Tolstoy mengadili kekerasan dan tindakan tidak manusiawi
dalam novel ini .
“’Perang!’
teriak Maria Dmitriyevna. ‘Perang apa? Dasar kalian penjagal. Sesosok mayat
harus dikuburkan, tapi kalian berdiri saja cengengesan. Dasar penjagal,’ dia mengulang,
turun dari beranda dan pergi masuk rumah melalui pintu belakang.” (Halaman
221).
Dalam novel ini, dari bab per bab, pembaca akan merasa terkagum
dengan kepiawaian Tolstoy dalam menulis. Ia akan menggiring pembaca menuju satu
titik yang sangat focus, lalu pada paragraf-pargraf terakhir, pembaca akan
dibelokkan dengan belokan tajam nan lancip. Selebihnya, ada banyak sekali
perenungan yang patut direnungi dalam-dalam, seperti halnya kematian Hadji
Murat sendiri yang tak terkira: kepalanya di potong dan dipamerkan ke penduduk
dari desa ke desa. Kematian memang selalu membawa pelajaran. Begitu juga
kematian Bunga Tatar ini, yang semasa hidupnya berjuang dalam kemelut
perang dan mati seolah sosok bajingan yang dihinakan. Kematiannya sendiri
memberi banyak pejalaran, bahwa kejayaan dan bahkan kebaikan selama hidup pun
tak dapat menentukan apakah seseorang dapat mati dalam keadaan baik.
Meskipun demikian, Hadji
Murat tetaplah Hadji Murat, bunga dari semak Tatar yang tumbuh diantara
duri-duri yang liat, sungguh hebat tenaganya dan kekuatan hidupnya, yang betapa
kerasnya ia bertahan, dan betapa mahalnya ia menghargai hidupnya. Dan sekali
lagi hukum alam membalas budi. Hadji Murat yang menghargai mahal hidupnya,
terbalas oleh kehidupan yang menghargainya mahal dan terabadikan sepanjang
zaman di seluruh dunia sebagai Bunga Tatar.
***
Tuban,
11 Agustus 2015
Comments
Post a Comment