Review Novel Lelaki Tua dan Laut

Belajar dari Apa yang Diberikan Laut



Judul               : Lelaki Tua dan Laut
Penulis             : Ernest Hemingway
Penerjemah      : Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat
Penerbit           : Serambi
Tebal               : 139 halaman
Cetakan           : Pertama, Februari 2015
ISBN               : 978-602-290-028-3 

           Laut mana yang tak berombak, bumi mana yang tak bergelombang? Segala usaha tentu ada kesukaran atau bahayanya. Sebab, hidup tak lain adalah samudera, maka kehidupan tanpa cobaan adalah hal yang mustahil.
Santiago dalam Lelaki Tua dan Laut karya masterpiece Ernest Hemingway adalah Santiago tua yang payah dari tepi perairan Arus Teluk. Ia mengarungi samudera hidup dengan menjadi seorang nelayan. Dan cerita dalam novel ini diangkat dari perjalanan Santiago di tengah lautan selama delapan puluh empat hari, sendirian. Ia telah lebih tabah dari samudera itu sendiri. Sebab, hidup tak lain adalah samudera. Ia telah kenyang cercaan orang-orang pinggiran di Teras—tempat para nelayan biasa nongkrong—karena keadaannya yang menyedihkan; pengalaman berlayar selama delapan puluh tujuh hari tanpa mendapatkan seekor ikan besar pun. Lebih pahit lagi, seorang anak muda bernama Manolin tak dibolehkan orang tuanya lagi untuk bergaul dengan Santiago. Mereka menganggap bahwa perahu Santiago membawa kesialan sehingga sulit mendapatkan ikan.
Maka hiduplah Santiago tua dalam kemiskinan dan kepedulian Manolin yang setia.
“Tak ada jala. Anak lelaki itu ingat saat mereka menjualnya. Tapi mereka bertahan dengan khayalan itu setiap hari. Tidak ada sepanci nasi kuning atau ikan. Anak lelaki itu mengetahuinya juga.” (halaman 10).
Lalu pada suatu malam, akhirnya Santiago memutuskan berangkat mencari ikan dengan peralatan seadanya dengan diantar oleh Manolin. Dalam pelayarannya selama delapan puluh empat hari itu, Ernest dengan cukup detil mengisahkan pergolakan psikologis Santiago. Dimulai dari kemunculan gerombolan ikan terbang, lumba-lumba, ubur-ubur lalu sampai sebuah umpannya termakan seekor ikan marlin raksasa. Ketahanan hidup Santiago diuji ketika berusaha mendapatkan ikan marlin raksasa itu. Ada usaha tarik-ulur, bertahan, melawan dan upaya saling melelahkan satu sama lain. Sampai beberapa hari mereka bertahan dan akhirnya ikan itupun kalah. Ada yang lebih mengenyedihkan daripada perlawanan mendapatkan ikan, ujian meningkat seirama tingkat kesabaran dan kemampuan Santiago menerima ujian itu; Segerombolan hiu muncul dan menyerang ikan marlin dan membuat Santiago kesal.
Singkat cerita, Santiago hanya mampu membawa pulang ikan marlin yang disisakan segerombolan hiu; hanya bagian kepala ikan dengan todak panjang bak tombak.
***
Membahas novel Hemingway, termasuk Lelaki Tua dan Laut ini, sebenarnya adalah membahas perlambang. Pembaca dituntut meraba tanda-tanda yang telah di letakkan oleh penulis. Inilah kecerdikan Hemingway. Coba kita baca seksama narasi berikut ini.
“Dia merasa kasihan pada burung-burung, terutama burung laut yang kecil dan lembut berwarna gelap yang selalu mencari makanan dan hampir tak pernah mendapatkannya. Dan dia berpikir, burung-burung itu memiliki kehidupan yang lebih keras daripada manusia, kecuali burung-burung perampok dan burung-burung yang kuat dan kasar.” (halaman 25).
Sebenarnya, Hemingway telah memaparkan cukup gamblang perlambang keadaan Santiago tua yang terbilang malang. Bisa kita ibaratkan bahwa Santiago adalah seekor burung kecil berwarna gelap yang dilihatnya ketika baru saja meninggalkan pulau. Frasa burung laut yang kecil dan lembut berwarna gelap, seolah melambangkan betapa kecil, tak berdaya dan gelapnya hidup si pemburu ikan, Santiago. Dan ketidaksukaan Santiago terhadap burung-burung perampok dan burung-burung yang kuat dan kasar, sudah melambangkan betapa kehidupan Santiago dalam pelayarannya itu akan dirampok oleh segerombolan ikan hiu.
Begitulah kisah Santiago, si burung kecil dan gelap, pemburu ikan yang malang. Begitulah Hemingway bermain tanda-tanda dalam ceritanya. Masih ada banyak permainan tanda dan perujukannya dalam novel ini. Walau bagaimanapun, novel ini memiliki banyak sekali pengajaran hidup pada pembacanya. Kesederhanaan Santiago dalam menjalani kehidupan yang serba terbatas dan bersyukur merasa telah tercukupi. Sifat kerelaannya atas sisa kepala ikan marlin tetap ia syukuri. Bagaimanapun, seburuk apapun sisa kepala ikan marlin itu, setidaknya ia mampu menunjukkan kepada teman-temannya di teras dan berbangga akan hasil tangkapannya. Dan hal yang paling penting selain rasa bersyukur adalah apa yang ditulis Hemingway dalam novel ini untuk tetap bersemangat dan menjalani penuh rela dalam pelayaran pada samudera kehidupan.
“Setiap hari adalah hari yang baru. Itu lebih baik dari keberuntungan. Tapi aku harus seksama. Kemudian saat keberuntungan itu datang, aku telah siap” (halaman 29).
***
Tuban, 16 Agustus 2015

Comments