Keris Pujangga Wangi
Akhirnya impianku
keturutan juga. Bisa punya mobil mewah, istri cantik dan yang paling utama,
namaku selalu ada di satu kolom koran ternama di negeri ini setiap minggunya.
Tentunya beserta karya-karyaku. Lebih tepatnya, aku sekarang jadi penulis tetap
di sebuah media.
Banyak yang tak percaya memang. Orang-orang yang dulu meledekku pun
terkaget. Aku masih ingat betul bagaimana mereka berbisik-bisik tentang diriku.
‘Kok bisa ya, si Umar tulisannya masuk koran minggu? Setiap minggu
lagi. Padahal tulisannya jelek.’ Kata seorang lelaki di kedai kopi sambil
melebarkan halaman koran minggu.
‘Ya jangan gitu, kang. Dia kan memang bekerja keras
dan punya impian jadi penulis.’ Lelaki lain membelaku. Aku kenal banar
suaranya. Dia teman satu sanggar dulu di Tuban.
‘Aku faham maksudmu. Tapi, masak langsung jadi penulis tetap. Hebat
benar dia. Aku yang sudah senior saja, karyaku sudah ngalor-ngidul-ngetan-ngulon
di media belum pernah ditawari redaktur menjadi penulis tetap.’ Lelaki dengan
Koran di tangannya tadi sedikit menyombongkan diri. Pamer karyanya yang sudah
kesana-sini.
***
Itu tadi putaran rekaman pembicaraan temanku waktu ngopi di
warung Mbak Tutik. Warung sederhana depan sanggar menulisku dulu. Aku tak ingin
berpelit ilmu. Sudah saatnya aku menularkan ini ke teman-teman penulis lain.
Tentunya bagi yang mau mengikuti syarat dan ketentuan yang berlaku.
Begini ceritanya.
***
Malam itu, selesai ziarah di Makam Kanjeng Sunan Bonang sendirian,
entah saking khusyuknya wiridku atau memang mata ini sudah tak bisa diajak
kompromi, aku tertidur.
Apa tidak banyak peziarah?
Aku bisa menerka batinmu.
Tidak. Soalnya aku punya kenalan sang juru kunci, jadi aku bisa
masuk ke dalam cungkup setiap kali berziarah. Sedangkan para peziarah
hanya tahlilan di luar cungkup. Suara mereka yang mestinya keras
menggaung-gaung di telinga, tak begitu terdengar ketika di dalam cungkup.
Jadi aku bisa benar-benar khusyuk di sana.
Dalam tidurku yang menurutku setengah sadar. Aku bilang setengah
sadar karena aku merasa bisa melihat apa yang terjadi saat itu. Maaf aku
ulangi. Dalam tidurku itu, seorang lelaki berbadan tinggi, berdiri di utara
nisan Mbah Bonang. Dengan jubah putih, surban tebal melingkar di kepala, tasbih
di tangan kiri, tangan kanan memegangi tongkat dan baunya saat itu, masyaallah,
wangi benar. Aku yang sering mencoba minyak wangi bebas alkohol di pertokoan
orang Arab, baru kali ini mendapati minyak yang baunya sewangi dan sekhas ini.
Aku yakin, orang ini bukan orang biasa.
Lelaki itu mendekatiku, menegur salam padaku. Suaranya merdu penuh
wibawa. Lalu dia duduk di sampingku, membuatku harus membenahi tempat duduk: saling
hadap-hadapan. Belum ada pembicaraan saat itu. Aku pun tak ingin berkata lebih
dulu. Sebab aku masih ingat bagaimana kyaiku dulu berpesan,
‘Kalau sedang berbincang dengan yang sepuh, biarlah yang sepuh
membuka pembicaraan.’
Rupanya lelaki itu bisa tahu isi hatiku dan tahu namaku. Lalu dia membuka
pembicaraan.
“Nak, Umar.”
“Nggeh.”
Dia yang tahu isi hatiku membuatku merinding.
‘Jangan-jangan dia bisa membaca masa depan? Wah, bahaya ini.
Bisa dibaca semua keburukanku.’ batinku.
“Sudahlah, tak perlu Nak Umar takut. Aku tak akan membongkar
rahasia-rahasiamu. Aku hanya ingin bertanya, apa yang membuatmu berziarah
kesini?”
“Saya hanya ingin mendekat pada Pengeran lewat Mbah Bonang.”
Lelaki itu mengangguk lalu kembali menanyaiku. Kali ini
pertanyaannya lebih dalam dan mengelupasi diriku.
“Apa benar hanya itu niatmu berziarah di sini?”
Aku merunduk. Malu. Karena niatanku berziarah disini bukan hanya mendekat
pada Sang Khaliq, tapi dengan berwashilah pada sang wali Allah ini, aku
berharap doa-doaku tadi terkabul. Lebih mudahnya, sang Wali adalah perantara.
“Ya bukan itu saja, Mbah.” Aku memanggilnya Mbah karena
nampaknya beliau sudah sepuh. Jenggotnya yang lebat sedikit ada warna putih
uban. “Tadi dalam doa saya, saya minta sama Allah agar diberi ilmu dan rizki
yang barokah.”
Lelaki itu mengangguk lagi sambil mengelus-elus jenggotnya.
“Benar, sudah tidak ada yang lain?”
Aku diam sementara. Mencari-cari apa hajatku yang lain yang belum
tercapai. Berharap lelaki sepuh ini seorang wali liwat, Nabi Khidir atau
orang yang dekat dengan Tuhan dan doanya mudah terkabul.
Nah, aku punya impian.
“Saya ingin menjadi penulis hebat seperti Kanjeng Sunan Bonang ini.”
“Coba ulurkan tangan kananmu.” pintanya. Aku mengulurkan tangan
kanan dan terbuka layaknya peminta-minta. Lelaki itu lalu mengangkat
tongkatnya. Tiba-tiba tongkat tadi diliputi cahaya yang silau, sampai-sampai
aku menciutkan pelupuk mata. Meredam kesilauan. Sejurus kemudian tongkat itu lenyap.
Berubah keris di telapak tangan kananku. Aku gemetar. Hatiku berdebar dan
bertanya-tanya,
‘Keris apa ini? Jangan-jangan minta tumbal?‘
“Itulah keris pujangga wangi. Pujangga artinya pengarang, penulis, mushonnif.
Wangi maksudnya terkenal, terpuji. Keris itu sudah kujinakkan dan sekarang
kaulah tuannya.” kembali Mbah tadi menjawab pertanyaan batinku. Aku mengangguk
faham. Tak ada lagi perasaan was-was soal keris ini, sehingga benda keramat itu
kugenggam kuat-kuat.
Lalu semuanya
kembali gelap. Senyap.
Aku langsung
terbangun. Kudapati sebuah keris dalam genggaman. Aku masuk- kan ke dalam
lipatan sarung.
***
Begitulah
ceritanya. Mau percaya alhamdulilah, tidak percaya syukurillah.
Tiga hari kemudian, hari Minggu, aku mampir ke Polsek Kota yang
kebetulan dekat tempat tinggalku, sekadar untuk melihat tulisan siapa yang
mampir di koran. Memang biasanya aku baca-baca koran di sana, terkadang hanya
nonton televisi atau menyimak kabar kriminal sekitar.
Kembali ke koran minggu di Polsek. Aku harus bilang bagaimana
padamu?
Lihat. Tulisan dan namaku di sana. Seperti yang sedang kau baca hari
ini.
***
Pondok Tuban, 24 Juni 2013
Comments
Post a Comment