Hikayat Burung Diku
Perempuan itu hanya berdiri di depan pintu dapur. Sekujur tubuhnya
gemetar setelah mengucapkan kata-kata yang bagi seorang ibu seperti dia adalah
pantangan.
“Bocah gak nduwe utek koyok kewan!”
Pasot! Ia baru saja memasotkan anaknya menjadi seekor burung. Maka
berubahlah anak itu menjadi burung. Dan karena burung itu selalu bersuara,
‘diiku…’ sampai saat ini burung itu dinamakan burung diku.
***
Terceritalah di sebuah kampung pedalaman yang tak akan mungkin
terjamah oleh kemajuan zaman, seorang janda dengan dua anaknya bermukim. Mereka
tinggal di sebuah gubuk sederhana. Berpakaian sederhana dan hidup yang amat
sederhana.
Sunti, itulah nama janda yang dalam kesehariannya membuat tikar
pandan untuk sepekan sekali dijual ke pasar. Biasanya setelah dari pasar, ia
akan pulang dengan membawa ikan asin, peralatan dapur atau kebutuhan lain dan
beberapa koin uang recehan. Terkadang pula ia membawa kembali tikarnya jika tak
habis terjual.
Dulu, ketika Joko—suaminya—masih ada, pekerjaannya tentu lebih
ringan. Ia tak perlu mencari sendiri daun pandan di tepi sungai di tengah
hutan. Tak perlu pula ia mengumpulkan kayu bakar dan ke pasar sendiri. Kini
semuanya berbeda semenjak Joko hilang. Bukannya hilang, lebih tepatnya suaminya
pergi dengan perempuan lain ketika menjual tikar pandan. Ia baru tahu kabar
sebenarnya sepekan kemudian ketika ia ke pasar. Orang-orang seisi pasar yang ia
tanya soal suaminya bilang,
“O…, Lelaki yang menjual tikar pandan itu. Ia telah dibawa lari
perempuan penjual pisau belati.”
Ah, tentu saja seketika itu hati Sunti berantakan. Rumah tangga
yang sekian tahun ia jalin bagai jalinan anyaman daun pandan, tiba-tiba saja
berantakan terobek oleh perempuan penjual belati. Ah, barangkali hati Sunti
jauh lebih terobek dibandingkan tikar pandan yang tersayat belati.
Meski dengan kecemburuan yang sangat sederhana, ia nampak begitu
kecewa. Dalam kesedihannya itu, ia baru teringat pesan tetangganya yang sudah
berkali-kali mencoba mengingatkannya.
“Jangan sekali-kali membiarkan lakimu ke pasar, bisa hilang nanti!”
***
Tak ada guna menyesali kaca yang pecah. Tak ada guna pula
mengharapkan telur ayam blorok, mengharapkan kepulangan suami yang terlanjur
kepincut perempuan lain. Sunti telah memutuskan memulai hidup baru bersama
kedua anaknya, Warno yang agak cacat dan Warni si jelita yang lugu.
Sampai pada suatu hari, amarah Sunti kembali meledak tak
terbentengi.
Seperti pagi biasanya, pagi itu Sunti hendak ke hutan mencari kayu
bakar dan daun pandan. Tak seperti biasa, kali ini kedua anaknya ia tinggalkan.
Ia tak mau anaknya bermain di hutan sehingga ia kebingungan mencarinya seperti
yang lalu-lalu. Ia benar-benar akan ke hutan sendirian.
“Warno, tolong jaga adikmu. Olah dia baik-baik.” pesannya sebelum
berangkat.
Warno hanya mengangguk. Sedang adiknya tersenyum. Keduanya berdiri
di depan rumah, menanti sampai bayangan punggung ibunya lenyap di balik semak.
***
Dalam pikiran Warno yang agak cacat dan tak pernah disekolahkan, ia
yakin paham betul apa yang dikatakan ibunya. Awalnya, ia mengajak adiknya
bermain peta umpet. Ia sengaja menunjukkan jari kelingking ketika adiknya
mengajak suit dengan jari telunjuk. Ia ingin agar Warni bersembunyi sedang ia
mencari.
Tentu Warni senang bukan main.
Ketika Warni bersembunyi, bukannya Warno mencari namun ia malah ke
dapur. Entahlah apa yang ada dalam pikirannya, ia tiba-tiba saja memotong cabe,
bawang merah dan bawang putih. Membuat racikan bumbu sayur yang entah apa
namanya.
“Kak, cepat cari aku!” teriak Warni. Amat kentara sekali kalau
suara itu berasal dari bilik kamar tempat menyimpan hasil panen dan kayu bakar.
“Iya, sebentar.”
Warno telah menyelesaikan racikan bumbunya. Ia pun telah menyiapkan
kuwali yang sudah ia campur dengan air dan bumbu racikan. Tapi lagi-lagi
adiknya berteriak agar segera dicari. Warno sudah tak sabar lagi. Begitupun
adiknya. Maka dengan dada penuh degup, Warno mengambil kapak peninggalan
bapaknya yang tersemat dekat tungku. Ia mengendap-endap bagai kucing hendak
menangkap tikus.
Sampai di dekat tempat adiknya bersembunyi, Warno menghentak!
Baaaa…!
Adiknya kaget sampai tersentak. Gemeletar. Semakin gemetar lagi ketika Warno
mengangkat kapak.
“Untuk apa kapak itu, kak?” Warni masih bergetar mengatakannya.
“Bukankah ibu mengatakan aku harus mengolahmu baik-baik?!” Warno
semakin dekat, memojokkan adiknya pada tumpukan gabah dan kayu bakar.
“Jangan, kak. Ja…”
Prakk!!
Kata-kata itu tak sempat Warni selesaikan. Suaranya terburu putus
oleh sabetan kapak Warno yang memisahkan kepala dan tubuhnya. Darah memancur
deras dari bekas kapak. Mengalir memenuhi bilik sempit itu.
Warno kemudian menyeret tubuh dan kepala adiknya ke dapur. Mencacahnya
menjadi potongan-potongan kecil bagai tukang jagal mencacah daging kambing.
Lalu hasil cacahan itu ia masukkan ke kuwali yang telah ia siapkan.
Warno merasa lega. Ia merasa telah berhasil mengolah adiknya dengan
baik. Keringat yang menetes tentu merupakan sebuah kepuasan tak terkira
baginya.
***
Sejak berangkat, perasaan Sunti terasa tak karuan. Bahkan di hutan
yang biasanya memberinya ketenangan, batinnya seolah teroyak, seperti ada yang
menyarankannya untuk segera pulang. Ia merasa terganggu dengan suara hatinya.
Akhirnya Sunti memutuskan pulang setelah mendapatkan beberapa pucuk daun pandan
yang telah ia bersihkan durinya.
Sampai di rumah, Warno menyambutnya dengan begitu semringah. Tak
biasanya ia membantu meletakkan daun pandan lalu memijit pundak ibunya.
“Mana adikmu, le?”
“Di dapur. Ibu tak perlu khawatir, adik sudah kuolah dengan baik
kok.” jawab Warno masih semringah.
Sunti beranjak. Perasaan tak enak itu semakin tajam ketika ia
mendekat dapur. Di dapur, Sunti mencari-cari Warni, anak perempuan
satu-satunya. Tak ada. Hanya ada kuwali yang masih terduduk di atas tungku yang
masih menyisakan bara. Dengan perasaan beraneka warna dan tangan gemetar, Sunti
membuka tutup kuwali. Dan…
Astaga!
“Warnooo…!” janda itu berubah merah. Berbalik ke arah Warno yang masih
duduk. Warno pun segera mendekat.
“Bocah gak nduwe utek koyok kewan!” Sunti mengeratkan rahang. “Bukan begini cara mengolah adikmu! Dasar
bocah tak punya pikiran!” kemarahan Sunti semakin kian tak tertahankan. “Ini
namanya kau membunuh adikmu! Dasar bocah dedel! Kewan! Kewan! Gak nduwe utek!”
Warno baru sadar, kalau ia baru saja membunuh adiknya.
Penyesalannya tentu begitu menjurang. Bahkan ia merasa tak terampuni. Warno
kemudian berlari meninggalkan ibunya. Ia menuju hutan. Dengan suara parau dan
terdengar amat memilukan, ia terus berteriak kencang, “diiikuu…, diikuu…”
***
Konon, Warno telah menjelma menjadi burung diku. Bahkan ketika kau
menyebut, “Warni, adikku.”, burung itu akan berkicau dengan suara parau dan
amat memilukan, seolah ia menangisi seseorang.
***
Tuban, 10 April 2014
Comments
Post a Comment