CERPEN INILAH KORAN



Tirta Kamandanu


            Sebenarnya aku ingin mempublikasikan info ini lewat kolom iklan baris, reklame, radio, televisi ataupun jejaring sosial yang saat ini menduduki rate tertinggi. Selain mengeluarkan biaya lumayan banyak, aku juga sangat psimis jika info ini akan laku di pasaran. Tapi menurut beberapa kerabat dan rekan kerjaku, sebaiknya aku mempromosikan info ini. soal laku tidaknya itu urusan belakang. Yang penting usaha.
            Beda dengan kerabat dan rekan kerjaku yang lebih dibutakan uang, guruku justru melarang untuk promosi. Tapi entah bagaimana aku mengatakan hal ini pada guruku itu, pasalnya tulisan ini sudah mewakili promosi.
***
            Aku bertemu dengan guruku—Ki Godek, tatkala keluargaku sedang punya hajat besar yaitu pernikahan adik perempuanku. Rencananya, acara resepsi akan diiringi dengan dangdut campursari. Malam harinya ada pengajian umum dan disusul pagelaran wayang kulit sampai subuh. Tapi takdir memang sudah menjadi slogan, ‘manusia boleh merencanakan, tapi Tuhan pulalah yang menentukan’. Rencana-rencana tadi hamper saja tak terlaksana lantaran terancam hujan. Sejam sebelum pengajian dimulai, langit nampak muram dengan petir dan mendung hitam. Bapakku khawatir jika rencana yang tersusun rapi tadi berantakan gara-gara hujan. Oleh beliau, aku disuruh mencari pawing hujan. Dan saat itulah aku pergi ke desa seberang sungai menemui Ki Godek.
            Ki Godek adalah lelaki tua dengan bulu berewok di wajahnya. Namanya sudah termashur di belantara kota maupun daerah sebagai pawang hujan. Sering beliau di undang dalam acara besar untuk memindahkan hujan saat acara dimulai. Bahkan ketika peringatan Tujuh Belasan Agustus beberapa tahun silam, ketika negeri ini sedang dirundung musim penghujan beliau diminta datang. Tentunya bukan sebagai petugas upacara, melainkan menjalankan profesinya saja, pawang hujan. Meski seorang yang tua, suara beliau tak terdengar tua. Masih merdu seperti saat muda dulu, menurut orang-orang yang tahu masa muda beliau.
            “Pasti minta dipindahkan hujan.”
“Iya, Ki. Bapak saya menyuruh saya ngaturi njenengan untuk memindah hujan di desa saya.”
“Memangnya ada apa kok sampai minta dipindahkan hujan segala?”
“Anu, Ki, bapak saya punya hajat. Anak perempuannya sedang nikahan dan nanti akan ada pengajian umum dan pagelaran wayang. Bapak juga ngaturi njenengan rawuh di acara tersebut, Ki.”
Ki Godek mengangguk. Setelah berbincang cukup panjang, beliau mengajakku ke pelataran rumahnya. Di bawah kelabu langit, Ki Godek seperti Prabu Siliwangi dalam acara televisi favoritku; bibirnya mewiridkan mantra dan tangannya seolah mengolah cuaca. Kilat yang menyambar-membelah langit tak beliau gubris. Masih khusyuk dalam membolak-balik telapak tangan di udara. Aku hanya terkesan melihat kehebatan Ki Godek. Aku juga merasa beruntung karena bisa melihat langsung adegan luar biasa ini yang  jarang sekali orang bisa menyaksikan. Beberapa saat kemudian, Ki Godek mengakhiri prosesi sakralnya itu. Aku lalu mengirim pesan singkat kepada bapak.
‘Bagaimana mendungnya, pak?’
‘Bablas mendunge. Jgn lupa ajak Ki Godek ke rumah.’
‘Siap, ndan!’
Aku masukkan HP-ku ke saku, kembali ke rumah Ki Godek sambil mengingatkan beliau bahwa bapak sangat mengharapkan kedatangannya pada acara malam nanti.
“Au terkadang merasa sangat bersalah kepada Tuhan.” Ki Godek membuka pembicaraan setelah menyandarkan punggung pada dinding papan di teras rumahnya.
“Merasa salah bagaimana, Ki?”
“Ya merasa salah karena memindah-mindahkan hujan.” Beliau diam sejenak. Pandangannya jauh terlempar ke langit yang mulai cerah oleh purnama.
“Bukankah hujan juga rejeki dari Tuhan, tapi kenapa orang-orang minta dipindahkan hujan lantaran acara sederhana seperti itu. Apa mereka tak ingat ketika tani mereka kekurangan air, atau tanaman yang seharusnya tak diairi tiba-tiba didatangi hujan dadakan hasil pindahanku. Aku masih ingat betul bagaimana bapakberpesan dulu. Beliau sangat mengkhawatirkanku menjadi orang dzolim. Ternyata apa yang dikhawatirkan beliau benar terjadi padaku. ‘Orang dzolim bukanlah hanya orang yang menganiaya orang lain, tapi menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, itulah hakikat dzolim sebenarnya.’ Begitulah pesan bapakku yang tak bisa kuhapus sampai sekarang.”
“Tapi bukankah dengan memindahkan hujan, Ki Godek berarti menolong orang?!”
“Benar menolong orang. Tapi aku masih merasa bersalah kepada Tuhan dan bapakku. Andai saja ada yang mau menggantikan profesiku menjadi pawang hujan, betapa aku sangat berterimakasih padanya.
Apa kau berminat, Nak?”
Aku diam berfikir. Pikiran dan hatiku mengajukan argumentasi yang bermacam-macam. Akhirnya aku membulatkan niat untuk siap menjadi pengganti Ki Godek. Tak lama kemudian, Ki Godek mengambil kendi kecil yang tertutup daun pisang masih segar. Kupikir itu adalah air kendi biasa seperti yang diminum orang-orang desa, ternyata tidak.
“Sebenarnya semua makhluk butuh dan memiliki air. Barang siapa bisa mengolah air di dalam jiwanya, maka dia bisa seperti air; lembut, fleksibel, bisa menerobos apa saja dan terpisah dari apa yang tidak cocok dengannya.”
Mendengar kata-kata pembuka Ki Godek, aku jadi semakin tertarik memiliki profesi pawang hujan. Aku pun teringat dengan buku filosofis karangan pesilat hebat dari dataran Cina, Bruce Lee.
“Di dalam kendi ini, ada air namanya Tirta Kamandanu. Selain air abadi yang dimiliki oleh Nabi Khidir, Tirta Kamandanu adalah air yang dicari oleh Bima.”
“Apa itu bukan sebatas dongeng, Ki?”
“Tidak. Bagi yang meyakininya, itu bukan dongeng. Nah, sekarang kau yakin apa tidak?”
Aku mengangguk memantapkan hati. Yakin.
“Kalau kamu sudah yakin, minumlah air ini. Jika kamu bisa menghabiskannya sampai sekendi ini, kamu bisa mengolah air di bumi ini.”
Rasa penasaran dan gregetku untuk memiliki ilmu langka ini sudah tak mampu kubendung. Setelah Ki Godek mempersilakan, aku langsung membuka daun pisang yang menutupi kendi dn menenggak airnya sampai habis. Segar bukan main air kendi itu. Tak pernah aku merasakan air kendi sesegar itu. Bukan seperti es, bukan. Segarnya air ini murni, seperti dari telaga sumbernya.
“Nah, sekarang yang perlu Nak Mas ingat adalah pepacuhnya. Pepacuh adalah larangan yang harus ditinggalkan.”
“Apa saja itu, Ki?”
“Kamu tak boleh pamer atau melakukan prosesi sakral pemindahan air di depan umum, tak boleh memindahkan air jika tidak diminta oleh orang. Dan satu lagi, kamu tidak boleh menawarkan diri.
Tidak boleh promosi.”
***
            Seperti Ki Godek mengenang pesan bapaknya, aku mengenang pesannya itu dan mencoba menaatinya. Tapi entah setan mana yang membisikiku untuk berpromosi, aku tak tahu. Aku hanya kasihan ketika melihat berita televisi yang menyiarkan ibu kota Negara sedang karam oleh genangan banjir. Banjir yang menjadi penyakit kumatan tiap musim penghujan layaknya diare. Aku yang merasa memiliki kelebihan bisa memindahkan berbagai macam air, merasa sangat bersalah jika membiarkan ibu kota kebanjiran. Tapi tak mungkin juga aku mempromosikan diri. Itu larangan guruku, Ki Godek.
            Sudah. Daripada berpusing kepala, akhirnya aku menulis cerita ini sebagai wujud kepedulianku, bukan promosi atau pamer ilmu. Syukur-syukur Gubernur Jakarta membaca cerita ini sehingga aku dipanggilnya untuk memindahkan banjir tahun ini dan aku tak jadi melanggar larangan Ki Godek.
Guru, maafkan aku mempublikasikan cerita ini. Sungguh aku tak bermaksud untuk melanggar larangan dan mengabaikan pesan-pesanmu. Sekali lagi maaf.
***
Tuban, 9 Juli 2013

Comments