Sumur Quran
Malam telah cukup larut. Para santri sudah banyak yang tidur, barangkali
hanya beberapa saja yang masih terjaga, para petugas keamanan. Seharusnya Kiai
Rohmad telah tidur dua jam yang lalu demi untuk menyongsong dua jam ke depan,
salat tahajjud. Tapi ia benar-benar tidak bisa merekatkan kedua pelupuk matanya
yang nampak lesu dengan warna gelap melingkari kelopak mata. Ia tak bisa tidur
malam ini, seperti dua malam yang lalu.
Lelaki itu sepertinya baru menyadari bagaimana rasanya menanggung kehilangan.
Kehilangan sesuatu yang selama ini ada di dekatnya namun tak pernah ia anggap
ada, selalu ia abaikan dan remeh-temehkan. Istrinya, Nyai Rohmah, sebenarnya sudah
mengingatkannya berkali-kali, jangan terlalulah dalam melakukan hal apapun, termasuk
jangan terlalu dalam membenci, kurang lebih begitu pesannya.
“Sudahlah, Bah, biarkan saja. Sepertinya, kiai-kiai dimana-mana
juga diuji seperti ini. Barangkali ini cobaan bagi kita. Bila kita kuat akan
naik derajat, tapi bila kita menyerah, tentu penyesalan yang akan turut datang.”
kata istrinya suatu kali dalam perbincangan di ruang tengah.
“Iya, saya tahu ini cobaan dari Allah. Tapi, Bu, hal ini cukup
menjadi aib besar bagi keluarga kita. Lebih-lebih...,” ia menggantung
kata-katanya. Ada hal yang ia sandikan dalam kelanjutan kalimat yang tak ia
ucap.
”Bagaimana mungkin, aku yang memiliki ratusan santri, setiap hari
dan tiap usai salat mengajar bermacam ilmu ini-itu, tak bisa mendidik anak
sendiri.” ia kembali diam. Baru setelah menghela napas sedikit kasar, ia
melanjutkan, “Bahkan, untuk hal sepele seperti mengajari anak sendiri membaca
tilawati.”
Istrinya diam. Ada perasaan bersalah tertanam dalam sanubarinya
selaku ibu. Ia merasa, ialah yang lebih memiliki tanggungjawab untuk mendidik
anaknya, sebab didikan pertama adalah ibu.
Perbincangan malam itu memang hanya berhenti disitu, tapi selalu saja
terulang-ulang dalam piringan ingatan lelaki berjenggot abu-abu itu, Kiai Rohmad.
Sebenarnya, kalau saja ia mengikuti saran istrinya—agar jangan terlalu dalam
membenci—mungkin, semuanya tak akan seperti ini. Apalagi marah kepada anak
sendiri, seharusnya tak begitu parahnya sampai Nurman—anak bungsunya—minggat!
Nurman memang tak seperti saudara-saudara tuanya, ia lebih pendiam
dari yang kelima kakaknya. Mungkin berangkat dari sifatnya yang terlalu pendiam
itu, sampai usia sepuluh tahun ia belum juga bisa khatam al-Quran seperti
saudaranya yang lain. Jangankan khatam al-Quran, membaca tilawati saja tak
bisa.
Bukannya tak pernah belajar, tapi anak Kiai Rohmad yang satu ini
memang sedikit ‘kurang pandai’ untuk ukuran anak umumnya, apalagi anak seorang
kiai. Abah dan Uminya sudah kelawahan mengatasi. Setiap kali ia diajari membaca
abjad-abjad arab, justru selalu berakhir tangisan disertai telinga dan beberapa
anggota badan Nurman yang merah.
Pernah pada suatu magrib, waktu itu Nurman baru berumur tiga tahun,
Uminya memperkenalkan abjad-abjad arab kepada Nurman. Tapi apa hasilnya? Nol.
Mengeluarkan suara saja tidak. Hal itu membuat Uminya menangis, dianggapnya
anak bungsunya itu bisu.
“Ya Rabb, apa salah hamba samapi anakku seperti ini?” rintih Uminya
setiap kali kaku ati melihat anaknya yang tak bisa berucap.
Kelihatannya, Nurman memang gagu. Mengucapkan hal yang biasa
seperti benda-benda yang ada di rumah saja masih ba-bi-bu. Ia nampak terlalu
kikuk untuk melafazkan coretan-coretan yang menurutnya aneh. Tapi, namanya anak
kiai, tak bisa membaca al-Quran tentulah menjadi beban kegelisahan tak
terhitungkan beratnya bagi orang tuanya.
Kiai Rohmad dan Nyai Rohmah sudah mencoba meminta suwuk
(barokah doa) untuk Nurman kepada kiai-kiai baik dari dalam maupun luar kota;
agar anaknya tak terlalu pendiam, tak gagu dan lincah berbicara. Namun usaha
mereka sia-sia, Nurman tak berubah. Malah salah seorang kiai sepuh di kotanya
yang cukup tersohor dalam hal suwuk-menyuwuk bilang,
“Putramu ini istimewa, Gus.” kata kiai itu kepada Kiai Rohmad.
“Memang dia nampak diam. Tapi diamnya tidak diam kosong.”
“Maksud kiai bagaimana dengan diamnya tidak diam kosong?” Kiai
Rohmad heran.
“Meski diam, sebenarnya ia tengah mewiridkan sesuatu. Sudahlah, tak
perlu khawatir. Suatu saat pasti dia akan seperti saudara-saudaranya. Bahkan melebihi
kakak-kakaknya.”
Tentu saja kata-kata kiai sepuh itu sedikit menentramkan hati
mereka. Itu pun tak bertahan lama. Sesampainya di rumah, mereka kembali kepikiran
karena anaknya terlalu pendiam dan masih saja tak bisa berucap.
Karena merasa gagal, akhirnya atas inisiatifnya sendiri, diam-diam
dan tanpa sepengetahuan Kiai Rohmad, Nyai Rohmah membawa anaknya ke Mbah Dul,
dukun cukup ternama di kota tetangga. Menurut omongan orang-orang, Mbah Dul
bisa menyuwuk orang yang susah berucap menjadi lancar. Bahkan, orang-orang yang
ingin menguasai bahasa asing seperti Bahasa Jepang, Inggris, Jerman, Prancis
dan bahasa asing lain bisa lancar dengan sekali datang ke Mbah Dul.
Untuk sampai ke rumah Mbah Dul, Nyai Rohmah harus naik bus AKDP
jurusan Tuban-Jombang-Malang, lalu turun di terminal Jombang, lalu naik angkot
lagi menuju kecamatan Mbah Dul. Sampai di panggalan angkot kecamatan, masih
harus naik ojek sampai ke ndalem Mbah Dul. Maklum, orang yang seperti Mbah Dul
ini cenderung lebih memilih menikmati hidup di daerah terpencil, jauh dari
keramaian.
Ketika sampai di rumah Mbah Dul, justru Mbah Dul-lah yang kaget
melihat Nurman setelah mengamati kening dan telapak tangan Nurman. Mbah Dul
jadi tak percaya atas apa yang dikeluhkan Nyai Rohmah.
“Saya tak percaya putra ibu ini tak bisa bicara. Saya tak percaya.”
“Maksud njenengan?”
“Putramu ini istimewa. Ia tidak diam, ia tengah membaca sesuatu.
Suatu saat, ketika ia telah menemukan apa yang dicarinya, ia akan kembali
seperti anak pada umumnya.” kata Mbah Dul seketika setelah mengetahui maksud
kedatangan Nyai Rohmah. Aneh memang. Tapi keanehan tak bisa menawarkan hasrat
Nyai Rohmah dan suaminya untuk merubah Nurman. Ia hanya ingin anaknya seperti
anak lainnya, bisa bicara, ngaji dan membaca. Itu saja. Tidak lebih.
***
Sudah lima hari ini, anak
itu tak ada di rumah maupun di pesantren. Awalnya, hari pertama kepergiannya
yang tanpa izin itu diabaikan oleh Abah-Uminya. Mereka pikir, Nurman diajak
oleh santri abahnya mudik.
Menjelang dua hari, perasaan mengganjal tumbuh di dada Kiai Rohmad ketika
beberapa santri yang ia tanyai tentang kepergian Nurman tak ada yang memberikan
jawaban yang mencerahkan soal anak bungsunya. Maka ia putuskan untuk menyuruh
santrinya mencari dan melapor ke kantor polisi. Sejak hari itu, Nurman divonis
hilang.
Tengah malam. Kokok ayam jago membelah waktu. Lelaki itu masih
resah di ruang tamu sendirian.
“Apa benar aku terlalu kasar dan memaksakan kehendak kepada Nurman?”
desahnya. Lelaki itu lalu bertanya-tanya sendiri.
“Apa dia marah karena sikap kasar dan kakuku? Apa benar anakku itu
sebenarnya tidak bisu dan tidak gagu?
“Mungkin benar apa yang dikatakan kiai sepuh, anakku itu sedang
membaca sesuatu.”
Bertanya-tanya pada diri sendiri dan perasaan merasa bersalah
akhirnya membuatnya kalah. Beberapa kali ia menguap pendek. Beberapa kali pula ia
terpejam, lalu memaksa sadar kembali dengan mengejangkan pelupuk mata. Tapi
kantuk terlalu menguasai. Ia akhirnya tertidur di ruang ramu itu juga. Seperti
malam-malam yang lalu.
***
Dalam tidurnya—barangkali
karena saking rindu dan khawatirnya,—ia melihat anak bungsunya itu mengaji di
sebuah bangunan tua dengan atap seperti atap pendapa penuh ukiran Jawa kuno. Mimpi
itu sangat jelas. Sebuah tempat yang tak asing baginya. Dalam mimpi itu juga,
ia melihat, sesekali ketika anaknya haus, anaknya menuju sebuah perigi kecil di
antara beberapa pohon kamboja. Ia menyaksikan anaknya menimba air dari perigi
itu, lalu meminumnya.
Usai minum, kembali anak itu ke tempat duduknya di bangunan tua itu.
Anak itu mengaji lagi. Kiai Rohmad semakin terharu mendengarkan anaknya
mengaji. Begitu lancar, begitu fasih dan suaranya merdu sekali. Ia mendekati
bayangan anaknya. Memanggilnya,
“Nur...” panggilnya sambil menepis air mata pada ujung mata. Tapi Nurman
abai atas panggilannya. Kiai Rohmad berubah sedih. Ia sesal mendalam di
hatinya. Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil tergugu-gugu menangis. Tak
disadarinya, Nyai Rohmah telah memperhatikannya sedari tadi.
“Bah…, Bah…, bangun. Sudah azan subuh.” Nyai Rohmah membangunkan.
Kiai Rohmad bangun penuh geragap. Napasnya tersengal tak teratur.
“Bu, ayo kita ke Makam Sunan Bonang sekarang, ke Sumur Quran.”
ajaknya gugup sambil mengusap sisa air mata di ujung pelupuk.
“Ada apa? Abah mimpi apa tadi kok sampai menangis begitu?” istrinya
bingung.
“Sudah. Ibu nurut sajalah.”
“Iya, tapi kita jamaah dulu.”
***
Tuban, 14 Mei 2014
.
Comments
Post a Comment