Cincin Akik Kang Dikun
Lelaki dengan
rantai di kaki kanannya yang berada di dalam rumah kosong itu kumat lagi. Matanya
merah cabe. Ia berteriak-teriak keras seperti menguras amarah dalam dadanya. Sesekali
ia menendangi dinding anyaman bambu rumah suwung itu. Tak jelas apa yang
diteriakkan, tapi suaranya tentu membuat orang tuanya dan para tetangga
berdatangan penasaran.
Sejak tiga bulan lalu, lelaki itu diam dalam kemajunan. Baru kali
ini ia kumat lagi. Dan yang membuat orang-orang tercengang ketika tiba, adalah sebatang
keris muncul dari tulang hastanya. Barangkali, benda keramat yang lahir tak
pada tempatnya itulah yang membuat lelaki itu meronta kali ini.
Beberapa saat
kemudian, Kang Dikun yang dipanggil oleh seorang tetangga, datang membelah
lapisan orang-orang yang berebut ingin melihat tragedi luar biasa itu. Ia
langsung berjongkok di depan lelaki majnun yang kali ini tengah terduduk
kelelahan. Pandangannya tertanam tajam pada mata lelaki itu. Lelaki itu gusar.
Tapi tenaganya terlanjur lemah usai sekian lama meronta.
Orang-orang yang
berada disana saat itu menyaksikan bagaimana Kang Dikun mengatasi lelaki yang
sudah bertahun-tahun dirantai kakinya. Kang Dikun memegang pergelangan tangan
kanan lelaki itu dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya mengepal dan
tepat jari manisnya yang dilingkari cincin akik merah delima ia tempelkan ke
kening lelaki itu. Tangannya bergetar-getar kecil ketika sebinar cahaya
berkilat dari cincinnya. Lalu, tiba-tiba saja lelaki majnun itu diam menunduk.
Hanya menunduk. Tanpa kegusaran, apalagi terikan seperti sebelumnya.
Setelah nampak
tenang, tangan kanan Kang Dikun dipindah untuk diletakkan beberapa senti di
atas lengan kanan lelaki itu. Lalu dengan pola seperti menarik sesuatu, dengan
penuh daya Kang Dikun seolah menarik benda dari lengan lelaki itu. kembali
terlihat geta-getar kecil ketika ia melakukan ritual. Sejenak berlalu,
keluarlah benda yang menghuni hasta lelaki itu: sebatang keris kuno dengan gagang
bermodel kepala ular.
Seolah mengerti
apa yang dibutuhkan tuannya, Ali menggelar kain kafan. Kang Dikun meletakkan
keris tanpa sarung itu ke kafan lalu menggulungnya.
Sebelum beranjak
pergi, Kang Dikun berpesan kepada keluarga lelaki itu sambil memberikan sebotol
kecil air mineral yang baru saja ia celupi mata cincinnya. Air dalam botol itu
seketika ikut bercahaya kemerahan serupa cincin Kang Dikun. Baru setelah cincin
itu diangkat, air itu kembali berwarna bening seperti semula.
“Tolong minumkan
ini padanya, insyaallah besok ia sudah kembali normal.”
***
Mata cincin itu adalah batu merah delima, kata seorang ahli batu
mulia. Batu sakti yang paling banyak dicari banyak orang. Batu yang
dikeramatkan mampu memberi kekebalan, pengasihan, penglarisan dan kewibawaan
bagi siapapun yang memakainya.
“Memang tak jarang Kang Dikun di datangi tamu-tamu asing yang belum
pernah ia kenal. Tamu itu tak ada niat lain selain menanyakan cincin akik merah
delima miliknya, sekalian menawarkan harga ratusan juta untuk benda jimat
tersebut. Namun Kang Dikun menolak halus.” cerita Ali—sopir pribadi Kang
Dikun—kepada teman ngopinya.
“Saya tak mau mengecewakan bapak, cincin ini telah memilih saya
sebagai tuannya. Jadi, meskipun saya menjualnya, tentu ia akan kembali lagi ke
saya.” tambah Ali, menirukan kata-kata Kang Dikun.
“Wah, bejo benar Kang Dikun. Kalau boleh tahu, dari mana Kang Dikun
mendapatkan cincin kondang itu?” tanya Budi, sopir angkot yang juga teman dekat
Ali.
“Jadi, begini ceritanya.
Sewaktu Kang Dikun masih nyantri di Lasem dulu, ia memang pandai sekali ilmu
pijat. Sering kali ia dimintai tolong untuk memijat oleh sesame santri, gus-gus,
kiai, ustad hingga pejabat setempat.
Kang Dikun pernah cerita kepada saya, bahwa dulu kiainya pernah
bilang, tanganmu ini bisa membawamu ketemu orang-orang besar, kata sang kiai
ketika dipijat. Rupanya benar. Dari barokahnya memijat kiai tersebut, Kang
Dikun sering diminta kiai pesantren lain untuk memijat. Nah, pas Kang Dikun diminta
memijat kiai pengasuh pesantren al-Anwar, ditemukanlah ia dengan seorang kiai
sepuh ternama dari Banten. Kiai itulah yang memberi Kang Dikun cincin akik merah
delima itu sebagai upah memijat.”
“Benar-benar bejo Kang Dikun.”
“Saya pernah dengar kabar, cincin merah delima itu dulunya milik
Nabi Sulaiman, benar nggak, kang?” tanya Hasyim si tukang parkir yang
sejak tadi ingin bertanya.
“Kata Kang Dikun memang begitu. Kabar itupun ia dapat dari cerita
kiai sepuh yang memberinya cincin itu.
Kalian tentu tahu sendiri siapa Nabi Sulaiman itu. Selain terkenal
sebagai ahli bahasa apa saja dan raja paling kaya raya pada zamannya, beliau
juga terkenal penguasa ilmu gaib. Itu sebabnya semua makhluk segan terhadap
beliau.”
“Apa hubungannya dengan cincin merah delima?”
“Tunggu, saya belum selesai. Jadi begitu, saking segannya semua
makhluk, Imfrit—raja jin—sampai takluk. Mengapa? Karena Imfrit takut jika Nabi
Sulaiman akan memenjarakannya ke dalam cincin akik merah delima beliau.”
“O, jadi begitu ceritanya.”
***
Cerita lain yang
banyak disaksikan orang banyak adalah ketika peringatan HUT RI. Setiap tahunnya
Kang Dikun selalu menampilkan atraksi kekebalan dengan menggunakan cincin
keramatnya itu.
Awalnya,
orang-orang telah membentuk lingkaran besar di lapangan desa, persis seperti
anak pramuka mengitari api unggun. Hanya saja ada sedikit lobang dari lingkaran
itu. Darisitulah Kang Dikun dengan ayam jago bawaannya masuk ke dalam lingkaran
untuk memperagakan ilmu kekebalan.
Pertama, Kang
Dikun akan berkomat-kamit sedikit. Seperti meminta izin sang Pencipta dan
semesta. Lalu ia melepaskan cincin keramatnya untuk ditalikan di leher si jago
sebagai kalung. Ia kemudian mengeluarkan sebuah golok yang masih
berkilau-kilat. Jelas sekali golok itu baru saja di asah.
“Silakan, siapa yang
mau menyembelih ayam jago ini.” ia menawarkan goloknya kepada pemirsa.
“Saya.” Seorang
jejaka berdiri menyambut golok. Jejaka itu mengamati lebih dulu golok itu.
Jangan-jangan, ini hanya golok tipuan, batinnya. Tak main-main, ia akhirnya
menjajal ketajaman golok itu dengan menggoreskannya ke jari telunjuknya. Dan
tentu saja, darah meleleh.
“Baik, saya akan
menyembelih jago ini. Saya yakin leher si jago akan putus.” ucapnya mantap.
Melihat jejaka itu
membenamkan golok dan memutar-mutarkannya di sekeliling leher si jago, para
warga penasaran. Mereka berebut mendekat. Nyatanya benar, ayam jago itu tak
mengeluarkan darah sedikitpun. Jangankan mengeluarkan darah, lecet pun tidak.
Agar orang-orang
lebih percaya, Kang Dikun menawarkan dua kesempatan lagi kepada pemirsa untuk
menjajal kesaktian ayam jago berkalung cincin merah delima. Hasilnya sama saja.
Si jago tak lecet sedikitpun, apalagi mengeluarkan darah.
Setelah kesempatan
terakhir menjajal selesai, Kang Dikun melepaskan cincin itu dari leher si jago.
Lalu kembali ia menawarkan siapa yang ingin menyembelih si jago.
“Saya.” Kembali
jejaka itu berdiri. Tanpa ragu ia mengucap basmalah dan langsung menggorok
leher si jago. Kali ini, para warga mundur tak teratur. Mereka takut melihat
darah mengucur dari leher si jago, takut mengenai baju mereka.
“Karena kamu yang menyembelih, ayam jago ini milikmu. Silakan
dimasak yang baik.” kata Kang Dikun menutup pertunjukan Tujuh Belasan Agustus
kala itu.
Sejak saat itu, para warga yang menonton pertunjukan berebut kesempatan
untuk menyembelih si jago yang sengaja dibawa Kang Dikun untuk percobaan. Sebab
sudah jadi kebiasaan, siapa yang menyembelih si jago, dialah yang akan memiliki
dagingnya.
***
Pernah pula Kang
Dikun dimintai tolong seorang ibu penjual lontong tuyuhan agar putrinya
segera dapat jodoh dan melepaskan julukan ‘perawan tua’. Kang Dikun pun
menyelupkan cincinnya ke air dalam baskom yang telah di sediakan ibu itu.
Seperti cerita lainnya, air itu membinarkan cahaya merah delima. Baru setelah
cincin itu diangkat, air itu kembali berwarna bening seperti semula.
“Gunakan sebagian
air ini untuk membasuh wajah putri ibu setiap malam dan sebagian lagi untuk ia
minum. Insyaallah, tak lama ia akan dapat jodoh.”
Sepekan kemudian,
Kang Dikun didatangi ibu itu dengan satu kardus lontong dan satu panci besar
berisi sayur opor ayam kampung. perpaduan sayur opor ayam kampung dan lontong
segitiga itulah yang tenar dengan sebutan lonton tuyuhan, makanan khas
Rembang.
“Ini saya buatkan
lontong untuk Kang Dikun sebagai ucapan terimakasih saya. Putri saya baru saja
dilamar orang tadi siang.” ucap ibu itu setengah gugup karena saking
gembiranya.
***
Terlalu banyak dan akan terlalu panjang jika mengisahkan tentang
kehebatan cincin akik Kang Dikun. Namun, sebenarnya ada kisah lain yang tak
kalah menariknya dengan kisah-kisah yang lain. Akan tetapi, kisah itu rupanya
menjadi sebuah rahasia, sehingga hanya Ali yang tahu kisah ini.
“Pernah suatu malam, aku bermimpi ketemu Syekh Abdul Qodir
al-Jilani. Dalam mimpi, aku menyaksikan sendiri bagaimana pemuda dari Asfihan mendatangi
Syekh Abdul Qodir untuk meminta doa kesembuhan untuk tuannya yang terkena
tenung. Maka persis dalam kitab manaqibnya, beliau berpesan: ‘bismillah wa
biiznillah, wahai engkau sembuhlah. Ingat, ada Syekh Abdul Qadir di
Bagdad.’” curhat Kang Dikun kepada Ali.
Ali hanya menganggukkan kepala, mencoba mengingat kisah dalam kitab
yang sama yang agaknya ia telah lupa.
“Dari mimpi itu, aku mulai sadar dan berbenah diri. Sehingga setiap
kali aku diminta tolong orang atau menampilkan atraksi, aku membaca Fatihah dan
tak lupa mengulang pesan Syekh Abdul Qodir al-Jilani dalam mimpiku itu.”
***
Rembang-Tuban, Juni 2014
Comments
Post a Comment