Review Novel Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng

Imajinasi dalam Kotak Cina




Judul           : Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng
Penulis        : Jostein Gaarder
Penerjemah : A. Rahartati Bambang
Penerbit      : Mizan Pustaka
Tebal          : x+262 halaman
Cetakan      : Pertama, Juni 2015
ISBN           : 978-979-433-887-2

 


Pascale Casanova, seorang kritikus berkebangsaan Prancis menyatakan, prestise adalah bentuk paling murni perwujudan kekuasaan dalam semesta kesusastraan: otoritas non-material mutlak yang disandangkan pada karya-karya sastra paling tua, paling ningrat, paling absah (istilah-istilah yang nyaris sinonim), pada karya-karya klasik yang paling dikeramatkan dan pada para pengarang yang paling diagungkan. Benarkah demikian?

Sepertinya tidak sepenuhnya benar. Dalam novelnya kali ini, Jostein Gaarder seolah menepis pandangan Pascale, bahwa prestise bukan sesuatu yang murni dan diagungkan. Gaarder menggambarkan bahwa dunia sastra dalam ceritanya, karya-karya sastra, sastrawan, dan penghargaan kesusastraan, tak lebih dari sebuah panggung pameran karya yang tak murni nan penuh kebohongan. Melalui tokoh Petter yang mendapatkan julukan si Laba-Laba, Gaarder menyibak perban yang memaparkan borok dunia sastra.

Terceritalah, seorang Petter, lelaki yang sangat kaya imajinasi. Bahkan, seiring berjalannya waktu, ia mengalami kesulitan memisahkan antara  kenangan mengenai khayalan dan kenangan mengenai kenyataan. Beruntung, Petter dapat menyalurkan industri imajinasinya menjadi ide cerita pendek, sinopsis novel, maupun puisi setengah jadi. Meskipun dia tak pernah mampu menyelesaikan satu novel pun, karena demikian ramainya imajinasi yang berkelindan di dalam kepala. Hal itu dibuktikan dengan kisah Petter kecil yang diikuti Lelaki Semeter—produk imajinasinya yang terjun ke dunia nyata yang mengikutinya kemana ia pergi, dan sebuah kerangka cerita tentang Panina Manina, putri kepala sirkus yang terpisah dari rombongannya.

Screenshoot tayangan resensi novel ini di Koran Sastra Sumbar, 2 Januari 2016.

Comments