Review Buku Bhisma Mahawira



Pelajaran dari Sang Pemegang Janji Abadi

Oleh: Umar Affiq


Judul               : Bhisma Mahawira
Penulis             : Ardian Kresna
Tebal               : 520 halaman
Penerbit           : DIVA Press
Cetakan           : Pertama, Desember 2012
ISBN               : 978-602-7665-94-1

            

          Bhisma merupakan salah satu tokoh penutan dalam seri pewayangan Mahabarata. Ia yang lahir sebagai anak sulung raja, sudah semestinya ia berhak untuk menjadi penerus tahta kerajaan Astinapura. Namun cinta, ketaatan, keluhuran budi serta rasa hormatnya pada sang Ayah, Prabu Sentanu. Ia rela mengorbankan tahta kerajaan dan kebahagiaan duniawinya demi kebahagiaan ayahnya.

Dikisahkan, suatu hari Prabu Sentanu sedang berburu dan sampailah ia di tepi sungai Yamuna. Raja duda itu bertemu dengan seorang perempuan jelita rupa yang membuatnya jatuh cinta. Kepada perempuan itu, ia berjanji akan menikahinya. Tapi, Dewi Setyawati menawarkan syarat yang memberatkan Prabu Sentanu: ia meminta agar kelak anak dari Setyawatilah yang menjadi raja di Astinapura. Prabu Sentanu berminggu dilanda gundah gulana akan dilema. Akhirnya, dengan kebaikan Dewabrata, pernikahan Prabu Sentanu dapat berlangsung meski Dewabrata harus merelakan segala miliknya.

“Aku berjanji demi untukmu dan untuk Astinapura ini, Ayah. Peganglah dengan teguh ucapan yang kukatakan dari bibirku ini bahwa kelak putra yang dilahirkan Dewi Setyawatilah yang akan menjadi raja di Astinapura. Aku bersumpah tak akan menikahi perempuan seumur hidupku demi kebahagiaan pernikahan kalian berdua. Seluruh hidup akan aku peruntukkan bagi Astinapura dan kesucian. Inilah maskawin bagi Prabu Sentanu yang akan dipersembahkan untuk pernikahan dengan Dewi Setyawati.”

Dari pengorbanan itulah, Dewabrata mendapatkan julukan baru dari para dewa dan penghuni kahyangan: Bhisma! Selanjutnya, dalam menjalankan kewajibannya sebagai abdi sejati Astinapura, justru berbagai macam cobaan menghujam kehidupan Bhisma. Kutukan dari Dewi Amba, putri kerajaan Kasindrapura yang menolak pinangan Wicitrawirya menjadi masalah yang seolah menanti Bhisma dalam keresahan baru.

Dewi Amba berjanji, kelak akan menjemput Bhisma untuk pulang bersama menuju alam kasuwargan. Dan hal itu terjadi ketika perang Bharatayudha berkecamuk. Perang itu telah menghabiskan segalanya. Puluhan ribu nyawa berterbangan, anak-anak menjadi yatim, perempuan-perempuan menjadi janda dan padang Kuruksetra menjadi semacam sawah tadah darah.

Dan benarlah, Dewi Amba menitis ke Srikandi, istri Arjuna, yang akhirnya membuat linglung sang Mahawira. Di matanya, yang terlihat bukanlah Srikandi, istri Arjuna. Namun, adalah Dewi Amba yang menatapnya penuh dengan kemesraan dan kerinduan. Dari kelinglungannya, Bhisma yang perkasa dapat dikalahkan dengan puluhan anak panah yang merajam tubuh rentanya.

Buku Bhisma Mahawira ini, tidak sekedar menyajikan kisah hidup sang pemegang janji abadi, Bhisma Dewabrata, buku ini juga mengisahkan epos Mahabarata dari sudut pandang yang berbeda.

Lebih dalam lagi, buku ini memang lumayan berbeda dengan naskah asli Mahabarata atau paling tidak naskah Mahabarata kontemporer seperti Mahabarata versi Nyoman S Pendit. Penggunaan sudut pandang berdasarkan kisah Bhisma tentu saja memotong sekian banyak cerita tentang leluhur Astinapura seperti Shakuntala, Yayati, Barata dan lain sebagainya.

Dalam Mahabarata versi Nyoman S Pendit, disana pula dicantumkan garis keturunan wangsa Barata dan Yadawa. Disana juga dikisahkan sampai pada proses pandawa menuju nirwana. Tentu kekurangan ini disebabkan oleh sudut pandang cerita yang diangkat: keperwiraan Bhisma.

Perbedaan lainnya yaitu penamaan tokoh dan gaya tutur. Ardian Kresna mencoba menyajikan kisah ini dengan tempelan-tempelan aksen Jawa. Dan dengan demikian, berubah pula penamaan tokohnya. Seperti misalnya, dalam buku ini dituliskan Resi Durna, yang dalam Mahabarata sebenarnya ataupun versi Nyoman S Pendit ditulis Resi Drona. Meski hal ini tak begitu berpengaruh pada esensi cerita, hal ini cukup menimbulkan benturan mengingat naskah Mahabarata sebenarnya lahir sebagai naskah Hindu yang kemudian digubah oleh para Wali Sanga sebagai sarana dakwah Islam di tanah Jawa. Maka semakin lengkap dan jelaslah poin yang dituju Ardian Kresna dengan tampilan sampul buku ini yang menampilkan kelir dan wayang Raden Dewabrata (Bhisma muda) sebagai manifestasi Mahabarata versi pewayangan Jawa.

Tentang kandungan nilai-nilai, buku ini menawarkan banyak pelajaran moral sarat makna, tentang kesetiaan akan janji, pengorbanan kepentingan pribadi demi bakti terhadap orang tua dan negara, serta nilai luhur lainnya. Ada pula kritik yang amat halus dalam buku ini. Kritik tentang sifat-sifat angkara yang dilakukan oleh Dewi Setyawati yang akhirnya membawa bencana di kemudian hari yang bahkan sangat membahayakan garis keturunan Wangsa Bharata.

Begitulah kisah sang pemegang janji abadi, Bhisma Dewabrata menjalani hidupnya dengan tansah setia dan menepati apa yang pernah diucapkannya. Lalu, pelajaran apa yang kita peroleh dari membaca kisah keperwiraan ksatria utama ini? Sudahkah kita menepati janji sederhana yang pernah kita ucapkan, atau kita pura-pura melupa?
***
Tuban, April 2015

Comments