Jejak Si Binatang Jalang
Oleh: Umar Affiq
Judul : AKU
Penulis : Sjuman
Djaya
Tebal : 155
halaman
Penerbit : Metafor
Intermedia Indonesia
Cetakan : Cetakan
Kedua 2003
ISBN : 979-3019-13-1
Tak sedikit yang mengenal si Binatang Jalang. Melalui sajaknya yang
berjudul “Aku”, namanya tergaung sampai negeri Eropa. Penyair yang bernama asli
Chairil Anwar ini memang telah menggegerkan dunia sastra pada eranya, era
kemerdekaan, tahun 1945. Namun dari banyaknya orang yang mengenal
sajak-sajaknya yang menohok, tak banyak yang tahu kisah hidup si Binatang
Jalang ini.
Sjuman Djaya, berdasarkan kecintaannya pada sajak-sajak Chairil,
melalui buku ini ia mencoba menceritakan perjalanan hidup si Binatang Jalang.
Cukup detail dan menggemaskan. Mulai dari masa kecil Chairil yang diliputi
kegelisahan karena orang tuanya yang berpisah, kemudian ditambah duka maha
tuan bertahta atas kematian sang nenek tercinta, sajak di tengah peperangan
sampai pada detik-detik terakhir si Binatang Jalang dan lahirnya istilah ‘Angkatan
45’.
Dari buku ini, kita juga dapat merasakan inchi demi inchi
kegelisahan yang dialami Chairil. Kematian sang nenek tercinta adalah penyulut
sajak-sajaknya mengudara. Salah seorang Tim redaksi Balai Pustaka, Yasmin,
sampai menggelengkan kepala atas lahirnya sajak itu.
“Keparat sekali kesedihan anak ini, hanya karena neneknya
meninggal. Kapan kau pernah temukan salah seorang penyair kita menyatakan
kepedihan hatinya begini kentalnya. Bahasa Indonesia pun seolah mendapatkan
ekspresinya yang paling penuh. Dengarkan,” kemudian Yasmin membacakan sajak
Chairil.
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Kerelaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertahta!
Dia mulai syairnya juga sangat telengas: ‘Bukan kematian benar menusuk
kalbu’. Gila, Amir Hamzah pun tidak pernah memulai sajak-sajaknya langsung
kepada subjeknya! Juga yang lain!”
***
Begitulah. Chairil
memulai dunia kepenyairannya dengan duka dan kegelisahannya yang sunyi. Ia
bahkan telah melampaui penyair-penyair terdahulu.
Buku ini juga
merekam jejak Chairil sebagai seorang pejuang ’45 dalam usaha mempertahankan
kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda 2. Melalui sajak, kata-kata dalam
poster dan naskah pidatonya ia berjuang, mengobarkan api semangat para tentara Republik.
Namun, nasib Chairil tak semujur sajak-sajaknya. Ia pernah
tertangkap oleh opsir Jepang Shimitsu
sehingga ia harus ditahan dan dihajar sampai babak belur. Masalahnya, Chairil
tengah ketahuan mencuri sprei milik opsir Shimitsu untuk membeli buku. Tapi
begitulah Chairil, ia lebih berani dari sajak-sajaknya. Meski telah babak
belur, ia bahkan berani mengumpat pada si opsir yang walau saat itu posisi
Chairil sesungguhnya telah terselamatkan oleh seorang jaksa yang tak lain
adalah Mirat Tua yang telah mengganti rugi sprei si Opsir.
Mirat Tua adalah kakak dari Gadis Mirat yang pernah menyaksikan
Chairil melunasi kesedihannya atas kepergian sang nenek di tepi pantai. Waktu
itu, Chairil sedang tertunduk begitu pilu, menumpahkan segela dukanya pada buku
di hadapannya. Namun orang yang melihat keadaan itu tentu akan mengira bahwa
Chairil tengah membaca buku, termasuk Gadis Mirat yang mulai berdesir hatinya.
Jejak kepenyairan Chairil tak pernah lepas dari dunia perempuan.
Ada cukup banyak nama yang tercatat dalam buku ini, sebut saja Marsiti
(perempuan malam Chairil), Dien Tamaela (perempuan yang dikenal Chairil di
Balai Pustaka), Gadis Mirat, Corrie, Sri, Karinah, Ida Nasution, Hapsah
(perempuan satu-satunya yang menikah dengan Chairil dan melahirkan Evawani) dan
Roosmeini (gadis delapan belas tahun tempat Chairil menitipkan segala buku dan
karyanya sebelum meninggal).
***
Tentang kelahiran Angkatan 45, rupanya Chairil-lah pencetus istilah
‘Angkatan 45’. Kala itu, di tengah keterpurukan hidupnya oleh derita sakit yang
semakin menggurita di dada dan perutnya, perceraiannya dengan si Hapsah, juga
oleh kekecewaannya terhadap kawan-kawan Balai Pustaka, oleh Sam dan Pai
akhirnya Chairil dikenalkan dengan Mbalfas, seseorang yang dengan baik hati
menyediakan tempat tinggal untuk Chairil.
Dari tempat tinggal barunya itu, Chairil mendatangi Roosmeini atau
Roosy yang bersekolah dekat tempat tinggal barunya. Gadis delapan belas tahun
itu sempat memikat hati Chairil ketika ia mendeklamasikan puisi Chairil dengan
penuh penghayatan pada pesta Amalia, adik Sam. Dan pagi itu, ketika Chairil
menemui Roosy di depan sekolah, Qodrat (teman lama di Balai Pustaka) secara
halus memisahkan siswinya dengan Chairil. Qodrat mengajak Chairil pergi ke
dokter dan Chairil berlalu begitu saja, karena ia ‘tak pernah mengaku’ dirinya
sakit. Tanpa disengaja, sebuah kertas jatuh dari buku yang dikempit di ketiak
penyair kita dan ditemukan Qodrat. Kertas itu bertuliskan,
“Untuk Angkatanku”
Di tempat tinggalnya yang baru, Chairil menulis kembali sebuah
judul dengan lebih sempurna, “Angkatan 1945 – untuk self respect dan self
help”.
Semakin hari penyakit yang diderita Chairil semakin parah. Dan menjelang
akhir hayat, Chairil menyerahkan segala tulisannya kepada Roosy dan sekoper
buku yang selalu ia bawa kemana-mana ketika berpindah rumah. Akhir hayat
penyair kita ini terasa lebih menyakitkan dibanding sajak-sajaknya. Tapi siapa
yang masih percaya bahwa ia telah pergi ke maha tuan bertahta, sedang ia
sendiri mengaku,
Aku mau hidup seribu tahun lagi!
***
Rembang, April 2015
Comments
Post a Comment